Kelima

8 1 0
                                    

Pagi-pagi Emak sudah berkemas, setelah membuatkan sarapan, dan Anis juga Angah sudah berangkat ke sekolah, beliau bergegas membawa Cu ke rumah mantri Ramlan untuk memeriksakan kondisi mata Cu.

Kondisi mata Cu Nampak semakin bertambah parah, banyak kotoran disekitar matanya sudah melebihi dari biasanya.

Semalaman Emak tidak bisa nyenyak dibuatnya, meski Cu tidak mengeluh atau menangis namun suasana malam tadi sunyi dan bisu jauh dari keriuhan anak-anak setiap sebelum mereka beranjak tidur.

Mereka semua merasakan kekhawatiran yang sama akan kondisi Cu yang sepertinya akan menjadi buta.

"Hmm...Tidak apa-apa, Nah. Belum terlambat" Ujar Mantri Ramlan setelah memeriksa dengan seksama kondisi mata Cu.

"Benarlah tidak apa-apa, Lan?" Tanya Emak masih tidak yakin.

"Benar Nah, Tenang lah. Mata anak mu memang terkena 'katarak', penyakit yang sekarang sedang mewabah, di kampong seberang sana kudengar sudah puluhan anak juga yang terkena penyakit yang sama dengan anak mu ini"

"Lalu?" Mendengarnya beliau malah tambah khawatir.

"Masih bisa diobati, tapi tidak disini, habis dari sini lekas kau bawa lah anak mu ke hospital, disana ada obat dari pemerintah, ku buatkan catatan untuk dokter di sana agar anak mu lekas ditangani"

Emak menghela nafas dengan berat, didekapnya Cu kuat-kuat.

Cu sendiri sebenarnya hanya bisa diam saja, ia juga tidak mau menambah kekhawatiran emaknya.

Setelah dari rumah mantri, mereka berdua beranjak bergegas ke dermaga dengan menggunakan sampan penyeberangan, mereka menyeberang ke kampung M yang ada terletak hospital, juga sisa peninggalan 'Kumpeni' Belanda.

Kampung ini dulunya menjadi pusat administrasi Kumpeni. Dimana ada hospital, bank, juga kantor polisi, banyak perkantoran di dalamnya makanya kadang disebut juga kampung Kantor.

Setibanya di hospital dan menyerahkan catatan dari mantri, mereka berdua segera dipersilahkan masuk dan Cu segera diperiksa kembali.

Sama seperti yang dikatakan mantri Ramlan tadi, penyakit katarak pada mata Cu masih bisa disembuhkan, Cu bisa diobati, selama rutin meminum obat dan rajin dibersihkan. Cu juga harus rajin memeriksakan diri untuk melihat sejauh mana perkembangannya.

Emak belum sepenuhnya lega, namun kata-kata tuan dokter seperti menambah keyakinan bahwa Cu akan baik-baik saja.

Setelah mendapatkan obat untuk Cu, mereka berdua pun pulang.

Sepanjang jalan, Emak terus menenangkan dan meyakinkan dirinya bahwa semua akan baik-baik saja.

Semua akan baik-baik sahaja.

Emak mengurungkan dulu niatnya untuk menyekolahkan Cu, sampai kondisinya kembali normal. Tidak perlu terburu-buru, semua bisa menyusul. Lagi pula tidak mungkin ia bisa belajar dengan kondisi mata saat ini.

Berhari-hari, berminggu-minggu, emak telaten sungguh memberikan obat untuk mata Cu, setiap hari isnin pagi ia bawa Cu untuk kembali diperiksa di hospital.

Setelah hampir sebulan penuh dan tidak nampak perubahan berarti juga, tuan dokter akhirnya memutuskan untuk memberikan alat bantu kacamata kepada Cu.

Hasilnya, Cu bisa melihat lebih baik, dan kondisi ini patut disyukuri oleh emak karena, beberapa anak-anak lain yang terkena penyakit yang sama mengalami nasib yang tidak beruntung, menjadi buta sepenuhnya.

Jadilah sekarang dihadapan mata Cu bergantung kacamata bulat dan sangat tebal sekali seperti milik orang tua untuk membantu penglihatannya, tanpa kacamata itu, Cu tidak bisa melihat apa-apa.

Tidak banyak anak-anak yang memakai kacamata pada waktu itu, kebanyakan orang-orang yang sudah lanut usia. Cu menjadi dikenal dengan sebutan Cu 'kacamata' oleh teman-teman bermainnya, ada yang biasa saja, namun ada juga yang mengolok-oloknya.

Semula Cu malu dan tidak suka dengan kacamatanya itu, namun mau bagaimana lagi, tanpa kacamata itu ia tidak akan bisa bermain bersama teman-temannya, tanpa kacamata itu ia tidak akan bisa belajar di sekolah.

Lama-lama ia terbiasa, begitu juga teman-temannya. Di usia belia, ia harus belajar menerima kondisi kekurangan yang ada pada dirinya, dengan dukungan dari emak dan abang kakaknya.

Pun Ngah Sanah sekarang lebih lah sayang dan perhatian terhadap Cu, untuk sementara waktu, karena setelah sekian lama, dengan sejalan berlalunya waktu, setelah melihat Cu semakin dimanja lebih dari biasa oleh emak mereka, ia pun semakin cemburu melebihi rasa cemburunya selama ini kepada adiknya itu.

Besok pagi, Cu sudah bisa pergi bersekolah seperti Anis dan Ngah, belajar bersama kawan-kawan sepermainan yang sudah lebih dahulu masuk sekolah.

Cu sangat antusias sekali.

Cu :Bagian PertamaDonde viven las historias. Descúbrelo ahora