Ketujuh

5 0 0
                                    


Setelah kejadian perkelahian di jam istirahat itu tidak ada yang berani mengolok-olok Cu yang berkacamata tebal atau mencari-cari perkara dengannya.

Apalagi Anwar, ia sepertinya lebih sering murung, wajahnya masih bengkak, beberapa gigi susunya sudah dulu tanggal sebelum waktunya. Apabila berpapasan dengan Cu dan kawan-kawannya ia lebih suka menghindar.

Cu pun lebih suka begitu, kejadian di ruang guru juga jadi pelajaran buatnya. Tak mau lagi ia membuat malu emak, Anis, tak mau lagi ia membuat marah Pak Jaen yang memiliki kayu penggaris besar yang menyakitkan sekali itu.

Sekarang ia lebih suka untuk benar-benar belajar di sekolah, ia mulai belajar membaca dan berhitung, ia terutama senang sekali belajar aljabar.

Di saat jam istirahat juga ia bermain bersenda gurau dengan kawan-kawannya macam Utara, Naser atau Ciwan.

Hingga sepulang sekolah seminggu setelah kejadian itu.

Hari itu ia pulang terlambat, biasanya ia selalu bersama Anis dan Angah.

Keasyikan bermain hingga lupa waktu, matahari sudah condong ke timur. Ia pun pamit dan meninggalkan Utara dan kawan-kawan yang masih asyik bermain guli. Hari ini kawannya itu menang besar, penuh sudah kedua kantong celananya dengan buah guli.

Di tengah-tengah perjalanan ia di cegat oleh anak-anak yang jauh lebih tua darinya dari kampung seberang.

Di antara mereka ada Anwar yang dibanding anak-anak kampung seberang itu jauh lebih kecil.

Rupanya, Anwar dan anak-anak itu sudah menunggu dari tadi, menunggu Cu pulang sendirian, sudah ia nanti-nantikan dari hari kemarin.

Untuk menuntut balas.

Anwar sampai rela memecahkan tabungannya untuk membelikan beberapa kantong ciu untuk anak-anak kampung seberang supaya bisa membalaskan dendam kepada Cu.

Ia ingin agar Cu dikeroyok dan dipukuli habis-habisan hingga mendengar ia menjerit meminta ampun, menangis memohon belas kasihan dan bersujud kepada Anwar.

Barulah anak itu berpuas hati.

Ia sudah membayangkan gambaran kemenangan nya itu dengan paripurna.

Tapi Cu yang mengetahui dirinya kalah jumlah, tidak nampak takut sama sekali, ia pandangi satu persatu, Beberapa ia kenal, sering meminta paksa dengan anak-anak sekolah lainnya beberapa ketip untuk mereka membeli minuman atau rokok kretek. Mareka tidak bersekolah, atau lebih tepatnya tidak lagi bersekolah, ada yang dikeluarkan karena kenakalan yang sudah melampaui batas, ada yang memang memutuskan untuk berhenti karena merasa tidak ada gunanya belajar di sekolah.

Cu pandangi Anwar sembari tersenyum kecut, tidak menyangka masalah yang dibuatnya masih belum kelar juga.

Tapi ia sudah berjanji kepada dirinya sendiri untuk tidak lagi berkelahi.

"Kalau kau mau berkelahi, aku tak mau lagi, War." Ujar Cu dengan tenang.

"Enak saja kau, masih sakit sampai sekarang ini. Kau harus merasakan juga...!" Tunjuk Anwar ke arah pipinya yang memang masih terlihat bengkak, padahal tanpa dipukul pun memang pipi anak itu memang bengkak karena hobinya banyak makan.

"Tak mau aku, nanti dikeluarkan sekolah," Tolak Cu lagi.

Ia berusaha berjalan melewati Anwar dan anak-anak kampung seberang dengan tenang, benar-benar tidak mau meladeni.

Namun terasa olehnya dari belakang ada yang berusaha memukulnya, salah satu dari anak itu.

Secepat kilat ia mengelak dengan menunduk dan melompat ke samping.

Cu :Bagian PertamaWhere stories live. Discover now