Keenam

7 1 0
                                    


Cu pergi sendiri ke gedung sekolah, jaraknya pun tak sampai seratus meter dari gubuk mereka. Pada masa itu sudah biasa, jika kau ingin bersekolah, kau langsung datang saja.

Kau hanya disuruh untuk menggapai telinga kiri mu dengan tangan kanan melalui atas kepala atau dengan tangan yang sebaliknya.

Kalau kau berhasil menggapainya, maka kau boleh sudah bersekolah.

Sebagaimana bangunan pada masa itu, bangunannya tinggi menjulang, dengan puluhan tiang pancang dari kayu belian setinggi dua meter dan besar-besar, sebesar pelukan orang lelaki dewasa. Di bawah kolong gedung sekolah, anak-anak bisa bebas bermain di saat jam istirahat atau sepulang sekolah.

Ada tujuh ruangan, enam ruang kelas, satu untuk ruang guru.

Setelah menemukan ruang guru dan bertemu dengan salah seorang tuan guru di dalamnya, Cu menyampaikan niatnya untuk sekolah.

Kemudian oleh tuan guru ia disuruh untuk menggapai telinganya, tentu saja mudah baginya menggapai, ia sudah mencobanya sebelum ia pergi tadi di rumah.

"Siapa nama mu nak?"

"Raja, Tuan"

"Nama saya Pak Jaenudin, kau anak bungsu arwah Ahmad kah?"

"Iya Tuan" Cu mengangguk

"Panggil saya pak Jaen"

Tuan guru kenal dengan mendiang ayahnya, karena yang menjadi tuan guru dan anak murid di sekolah ini kebanyakan memang orang di kampung ini, ada juga yang dari kampung seberang, tapi tidak banyak.

"Sekarang coba kau pas kan seragam untuk mu ini" Ujar Pak Jaen sembari menyerahkan satu stel seragam sekolah untuk dipakai Cu.

Seragam hasil sumbangan dari badan Pramuka dari tanah jawa sana, agak kusam dan agak gatal sewaktu pertama kali Cu coba memakainya, atasannya kemeja putih kusam, berbahan jenis drill yang kaku. Bawahannya celana pendek warna cokelat.

Agak kebesaran buat tubuh Cu tapi menurut pak Jaen hal itu tidak masalah, setelah beberapa kali cuci akan mengkerut dan mengecil sendiri kata beliau.

Cu juga diberikan sebuah batu tulis bentuk persegi empat yang terbuat dari batu karbon. Lumayan berat untuk di bawa oleh seorang anak kecil, di tambah satu buah gerep atau batu kapur untuk alat tulis.

Sehabis itu Pak Jaen pun mengantarkan Cu ke ruang kelas satu yang sudah memulai pelajaran, bahasa Indonesia yang diampu pak Sudin, Cu diperkenalkan kepada beliau.

Pak Sudin bertubuh kecil, rambut kritingnya ditutupi peci hitam yang kekecilan, kumisnya tipis seperti kumis ikan lele. Umurnya paling tidak sudah pertengahan 30, tapi uban sudah dimana-mana.

"Nah, kau pilih bangku yang mana yang kosong buat kau duduk" Perintah pak Sudin.

Cu pun langsung memandang sekeliling kelas guna mencari bangku kosong yang dimaksud.

"Nampak tidak kau hei kacamata!" Teriak salah satu anak di kelas yang Cu kenal, tapi tak ia indahkan.

Ada beberapa bangku kosong, ia lebih suka sebenarnya di belakang duduk satu bagku dengan kawan mainnya Utara, namun itu jelas akan membawa celaka, ia tidak akan bisa melihat apa pun nanti yang bakalan ditulis di papan tulis.

Mau tidak mau ia mengambil bangku kosong paling depan, dengan Jeki si anak kacung.

Setelah Cu duduk, pak Jae pun kembali melanjutkan pengajarannya, beliau mengampu banyak mata pelajaran, salah satunya bahasa Indonesia yang diajarkannya saat ini.

Cu yang baru pertama kali hanya bisa duduk diam pura-pura mengerti dan terus mengikuti macam apa yang namanya belajar di sekolah itu. Setiap apa materi yang disebut pak Sudin dan disuruh beliau tulis, Cu akan tulis. Tapi ia kebingungan ketika batu tulis yang ia pakai untuk menulis itu tidak muat lagi. Ia celingak celinguk, nampak semua menghapus apa-apa yang sudah capek-capek disuruh tulis tadi. Apakah macam itu caranya?

Cu :Bagian PertamaWhere stories live. Discover now