24- Kenyataan Pahit

157 41 31
                                    

Mungkin ini yang dinamakan patah saat baru memulai
***

Cowok berpenampilan menarik itu melangkah dengan tergesa melewati koridor yang sudah cukup ramai. Sapaan serta senyuman manis yang biasa ia perlihatkan kini tak singgah di bibirnya. Tentu saja hal tersebut membuat beberapa siswi merasa aneh, padahal mereka sudah siap membalas sapaannya.

Memasuki kelas, ia langsung melempar tas hingga membuat sosok yang sedang tiduran di meja yang sama terperanjat. Danes dengan raut suntuknya mengumpat sebelum kemudian melemparkan tatapan tajam pada Auriga yang sudah berdiri di dekatnya.

"Bisa pelan dikit gak sih lo?" dumelnya berpindah kursi ke dekat jendela.

Auriga mendengkus. Cowok yang terkenal playboy itu memilih duduk di atas meja. "Motor lo ke mana?"

"Ha?" Danes mengernyit, terdiam cukup lama lalu menjawab dengan pelan, "Ada."

"Gue kagak liat tuh di parkiran," ujar Auriga yang sudah sangat hapal kendaraan milik teman-temannya.

Danes tampak tergagu. "Y-ya ... hari ini emang gak bawa, lagi di bengkel."

Tentu saja Auriga tak percaya, apalagi saat melihat raut Danes yang tampak gusar. Ditambah dengan informasi yang ia terima saat di parkiran tadi.

"Kak Anjani bilang, dia udah dua malem liat elo pulang kerja jalan kaki. Elo bahkan nolak ajakan dia." Nada Auriga mulai terdengar tak santai. Danes sudah seperti saudara untuknya. Mengenalnya sejak kecil membuatnya tahu perjalanan cowok itu. Dimulai dari perceraian kedua orang tuanya, bangkrutnya usaha keluarga Danes hingga mereka jatuh miskin, diabaikan oleh ayahnya serta kepergian ibunya.

Tidak lagi. Auriga tak ingin melihat sahabatnya menderita.

"Jujur Nes," pinta Auriga. "Kita udah kayak saudara, 'kan?"

Danes mendongak, menatap langit-langit kelas. Ia menarik napasnya yang terasa berat, tampak berusaha menahan sesuatu agar tak keluar dari matanya.

"Gue jual," ucap cowok itu lalu tersenyum palsu.

Auriga membeliakan mata. Ada rasa kesal karena Danes tidak memberi tahunya. "Gila ya lo!"

Meringis, Danes mengusap lengannya yang terkena pukulan. Beruntungnya itu tak lebih sakit dari perasaannya yang terus meratapi nasib setiap harinya.

Danes hanya melemparkan senyum tipis. Membalas ucapan Auriga sama saja dengan membuka lebar cowok itu terus menceramahinya hingga memaksa untuk menerima bantuan yang sudah terlalu berlebihan. Danes takut tak bisa membayar semua yang Auriga beri.

"Gue lupa belum ngerjain PR," ucapnya melihat Auriga hendak kembali mengomel. Terdengar dengkusan sebelum kemudian cowok itu turun dari meja.

"Gue ke kelas Aziel dulu!"

Danes mengangguk, tapi baru tiga langkah, ia segera memanggil sahabatanya hingga menoleh. "Gue sama Ilo pacaran."

Auriga mematung. Danes yang tahu tidak mudah mendapat kepercayaan segera mengalihkan pandangan. Tentu saja senyum bahagia masih ia perlihatkan.

"Sengaja, kan, lo?" Nada suara cowok itu terdengar tajam sama dengan tatapan yang diarahkan padanya. "Lo manfaatin Ilo cuma buat bales Yara, 'kan?"

Danes tak terima mendengar kata balas dendam. Ia tidak sepicik itu, tapi Auriga tak perlu tahu alasan yang sebenarnya. Ia hanya perlu menyakinkan semua orang untuk mempercayainya.

"Udah gue duga lo gak bakal perca-"

"Kenapa harus Ilona?" potong Auriga cepat.

"Kenapa kalau Ilona?" Danes balas yang terdengar menyebalkan di telinganya. "Lo boleh kok gak percaya sama gue, tapi asal lo tau, perasaan gue ke cewek itu udah hilang. Bukannya lo sendiri yang nyuruh gue buat move on?"

Nayara's Two Wishes ✔️Where stories live. Discover now