[23] Purity of Heart

28.5K 2.3K 192
                                    

Sabtu, 31 Mei 2014--16:05
A/N : kado buat malem minggu. part ini nyantai, gada berantem"nya. refresh otak dolo wakakak. dengerin lagu di mulmed ya. itu ada penampakan danau di part ini :3

==========

Meskipun terdengar samar, namun Duff yakin sekali kelima Slenderman itu telah pergi. Meninggalkan mereka berdua dalam keadaan tak berdaya. Duff meremas tangan Lica semakin erat, berharap gadis itu akan membuka matanya.

“Lica,” panggil Duff.

Lica tak bergerak sama sekali. Tubuhnya kaku dan mulai dingin. Diantara tenaganya yang hampir habis, Duff bangkit dan membawa Lica ke pangkuannya.

“Lica, bangun.” Duff mengusap pipi malaikat-nya. “Aku tau kamu masih denger suaraku, ‘kan?”

Di penglihatan Duff, Lica memang tidak bergerak sama sekali. Namun gadis itu sesungguhnya masih bisa mendengar dengan jelas perkataan Duff. Lica hanya tak mampu bergerak. Dia merasa seluruh tulangnya telah meleleh dan tenanganya terkuras habis.

“Kamu harus bangun.” Duff melingkarkan lengannya di pinggang serta pundak Lica. Pemuda itu berusaha untuk mengangkat Lica. Tetapi baru saja dia mencoba untuk berdiri, lututnya membentur tanah dengan keras.

“Lica ...” lirih Duff.

Duff menengadah, mencoba untuk menahan air mata yang hampir tumpah kembali. Memikirkan kenapa mereka bisa sampai di tahap ini. Kenapa dunia begitu tak adil pada mereka?

Duff mencoba memfokuskan pandangan pada air danau yang berwarna torqouise itu. Dasar danau yang dipenuhi oleh bebatuan indah terlihat dengan jelas karna kebeningan airnya. Namun sayangnya tak ada satupun ikan yang terlihat.

“Danaunya indah banget, sumpah.”

Dia kembali menunduk, menatap wajah Lica yang semakin pucat. Dengan sisa tenaga yang ada, Duff bangkit dan kembali mencoba untuk membawa Lica memasuki area danau itu. Dengan napas terputus-putus, akhirnya pemuda itu berhasil berdiri dengan Lica yang terkulai lemah di gendongannya.

Luka di tubuhnya yang masih mengeluarkan darah semakin menambah kesakitan yang dirasakan Duff.

“Kalaupun kita berakhir disini,”—Duff mulai berjalan kepayahan—“aku mau danau itu jadi tempat peristirahatan terakhir kita.”

Baru beberapa langkah Duff berjalan, ada sesuatu tak kasat mata yang menghalangi jalannya menuju danau.

“Pelindung?” bisiknya.

Suatu lapisan berwarna biru terang itu terlihat ketika jari telunjuk Duff menyentuhnya. Mata Duff mengerjap sekali, memperhatikan perisai yang tebalnya mencapai lima kali lipat dari pelindung yang biasa ia gunakan.

Kaki Duff menendang-nendang perisai pelindung yang mengelilingi area danau, berharap perisai itu akan pecah dan mengizinkan dia untuk membawa Lica masuk kesana. Tapi ternyata usahanya gagal.

“Kenapa?” Duff terduduk lemas, kali ini menangis tersedu dengan Lica di pelukannya.

Tapa disadari Duff, air mata Lica terjatuh. Gadis itu seakan merasakan kekecewaan tak berdasar yang dirasakan Duff. Bagaimana tidak kecewa dan marah, jika pengorbanan dan perjuangan mereka sia-sia? Bagaimana keseimbangan tiga dunia? Semua perasaan bercampur menjadi satu.

Tangan Lica terangkat, jemarinya bergerak ingin memberikan semangat pada Duff namun tak bisa. Pergerakan tangan dan jemarinya hanya halusinasi gadis itu. Bola mata Lica mulai bergerak ke kanan, keningnya berkerut samar. Lica mencoba untuk menyadarkan dirinya sendiri.

“Du..ff..” suara Lica begitu lemah, kecil dan tak berdaya.

Tangisan Duff terhenti. Kini ia merenggangkan pelukannya demi memandang wajah Lica dengan jejak air mata di pipinya. Duff tak mampu berkata apapun, hanya ada senyuman yang terlukiskan di wajahnya.

FL • 1 [Fericire]Where stories live. Discover now