1. Pilot

7.3K 602 53
                                    

Aku sudah terbiasa dengan kehampaan dunia ini. Segalanya monokrom di mataku. Aku pernah mengunjungi dokter mata secara diam-diam, tapi katanya mataku normal, tak ada yang salah denganku. Dan, aku juga pernah mengunjungi seorang dukun sendirian, katanya mataku tertutup sesuatu, tapi sebagai gantinya, aku mampu melihat hal lain.

Sudah bertahun-tahun begini, aku mulai terbiasa dengan dunia abu-abu yang kumiliki saat ini. Dan tentu saja aku ingin segalanya berubah seperti sedia kala. Aku ingin mampu membedakan warna-warna yang ada di dunia. Atau paling tidak, aku ingin bisa menyusun baju di lemariku berdasarkan warna.

Bunda sakit!

Aku mendengar seseorang berbisik. Suara yang awalnya terdengar mengerikan tapi sekarang seolah menjadi orang kedua yang ada di tubuh ini.

Begitu selesai perkuliahan, aku langsung menuju parkiran, mengendarai motor ke apotek untuk membeli obat, setelahnya baru aku melanjutkan perjalanan ke rumah.

Rumah tempatku lahir dan tumbuh besar itu bisa dibilang jauh dari kota, butuh 2 jam perjalanan dengan motor  kalau dari kampusku. Itu lah yang menjadi alasan aku menyewa kamar kost di sekitaran kampus. Biar gak capek.

Sampai di halaman rumah yang tidak ada pagarnya ini, aku memarkirkan motor kemudian masuk ke dalam rumah. Kulihat Bunda sedang rebahan di sofa, wajahnya pucat.

"Ade kok udah pulang, ini kan masih Rabu?"

"Bunda sakit, gak mau biarin sendiri. Ayah lagi ke luar kan?"

Bunda tersenyum kemudian mengangguk. Bunda sudah terbiasa denganku, karena beliaulah yang pertama menyadari keanehan dalam diriku.

"Ade tadi mampir beli obat, Bunda mau makan apa? Ade beliin biar udahnya bisa minum obat."

"Bunda masak kok, De. Ambilin aja tolong, jangan banyak-banyak."

Sejak Bunda pensiun dini dari tempatnya bekerja, begini lah kesehariannya. Ibu rumah tangga dengan anak-anak yang sudah dewasa, dan suami yang kadang kala diberi tugas ke luar kota.

Mengambil makanan, aku kembali ke ruang keluarga dan mengulurkan piring berisi makanan itu kepada Bunda.

"Ade besok kuliah? Capek dong bolak-balik." Ucap Bunda sambil menyuap makanannya.

"Besok masuk siang Bun, gak capek."

"Yaudah, jangan kaya Abang yang kebanyakan di luar ya?"

Aku mengangguk.

Damar, Abangku yang selisih 5 tahun dariku itu memang memilih tinggal sendiri, emm aku tahu sih Abang gak tinggal sendirian. Cuma dari pada Bunda berantem sama Abang, ya mending aku diem-diem aja.

"Kan Abang kerja di Bogor, Bun. Kalo gak ngekos ya capek, kerja capek, di jalan capek, sampe sini? Kadang diomelin dulu sama Bunda."

"Kamu suka gitu! Bunda jarang ngomel kali!" Ujar bunda setelah menelan makanannya.

Aku cuma bisa tersenyum. Mitos itu, bunda rajin ngomel, bunda diem kalo lagi sariawan doang kayaknya.

Setelah menyelesaikan makanannya, Bunda meminum obat yang kuberikan.

"De, kalo menurut kamu, Abang kapan nikah?"

Nanti, masih lama! Jawab suara di kepalaku.

"Gak tau, Bun. Abang kayanya lagi fokus cari uang, biar mapan dulu, baru nikah."

"Ihhh! Lama dong? Mendingan sambil jalan dicicil-cicil, kalo udah nikah mah seg gera, rejekinya pasti ada."

"Ya rejekinya ada kan kalo usaha, Bun. Nah ini Abang lagi usaha."

Dunia Abu-abuWhere stories live. Discover now