Bab 4. An Evil

4.6K 920 242
                                    


Agenda selanjutnya adalah mempertemukan Alam dengan keluarga besar Eila. Ayah Eila berasal dari keturunan aristokrat, kakeknya memiliki sebuah perusahaan turun-temurun, dan itu pun yang menyebabkan harta ayahnya seolah tak habis tujuh turunan. Dari luar, orang mengira bahwa rumah Eila adalah istana mewah dan orang-orang di dalamnya hidup penuh keberuntungan karena selalu berkecukupan. Tidak ada yang tahu bahwa benteng besar itu adalah dinding kokoh yang dipenuhi manusia dengan ego tinggi.

Awalnya kehidupan kecil Eila seperti puteri dongeng, hidup dalam kastil mewah, dengan seorang ayah tampan dan ibu baik hati. Namun semua itu berubah ketika Eila duduk di bangku kelas 1 SD. Ayahnya berubah kasar, bahkan Eila tak segan melihat ayahnya membenturkan kepala ibunya di depan mata Eila kecil. Ibunya tidak berhenti menderita sampai di situ, keluarga besar ayahnya justru memaksa ayahnya untuk menikah lagi hanya karena ibunya Eila memiliki kanker rahim dan tidak bisa melahirkan keturunan laki-laki.

Ibunya yang malang. Ibunya yang sedang berjuang untuk hidup, dipaksa berdamai dengan keadaan bahwa posisinya akan digantikan oleh seseorang yang lebih muda dan lebih berdigdaya untuk mewariskan silsilah keturunan Restama. Di tengah perjuangan untuk hidup atau mati, Eila yang menemani ibunya di detik-detik terakhir. Ibunya yang cantik berubah kurus kering, bahkan ketika memeluk Eila terasa seperti sekumpulan tulang bernyawa. Ibunya yang memiliki rambut panjang, dipaksa harus kehilangan mahkotanya hanya karena melewati serangkaian kemo menyakitkan.

Ibunya sendirian. Tidak ada ayahnya menemani, hanya Eila yang terus berada di sisi. Peristiwa itu terekam dan tersimpan menjadi memori paling menyakitkan dalam sudut kepala Eila. Tak heran, Eila selalu membantah tiap kali mendengar orang-orang bilang bahwa akhir bahagia dalam kehidupan adalah menikah. Untuk apa menikah, jika sendiri jauh lebih bahagia? Untuk apa menikah, jika sendiri justru jauh lebih leluasa melakukan berbagai hal menantang di dunia?

Dan bagi Eila, laki-laki adalah kaum paling hipokrit. Mereka bilang cinta, tapi setelah dapat seolah dibuang begitu saja. Sama seperti ayahnya.

"Kak?" Eila tersentak dari sarapannya begitu mendengar suara Bi Uti, "ngelamunin apa, Kak?"

"N—nggak, Bi."

"Itu kemarin siapa Kak yang ngantar ke sini? Betulan calon suami Kakak?"

Eila hanya tersenyum penuh arti. "Ganteng, Bi?"

"Kalau pilihan Kakak, Bibi nggak perlu raguin lagi, tapi serius Kak ... calon suami Kakak? Perasaan Bibi nggak pernah lihat Kakak bawa dia ke sini, kok tiba-tiba udah mau menikah aja?"

"Kejutan dong, Bi."

"Alhamdulillah kalau pintu hati Kakak udah terbuka, senang Bibi dengarnya, janji Bibi ke Ibu udah lunas buat jagain Kakak sampai menikah." Hati Eila terenyuh begitu mendengar kalimat itu.

"Permisi—selamat pagi." Eila dan Bi Uti menoleh dan menemukan Alam sudah berdiri di pintu, terlihat keren dalam balutan kemeja berwarna abu-abu.

"Waaah calon suaminya datang, ayo sini makan. Bibi udah masak banyak."

"Nggak usah, Bi, kita buru-buru. Mau datang ke acara tujuh bulanan Kak Nadya. " Eila memotong ucapan Bi Uti, tidak ingin Bi Uti memberi sambutan terlalu hangat. Eila tidak ingin Alam merasa terlalu dekat dengan dirinya. Dia harus memberi batasan tegas bahwa mereka hanya pasangan kontrak. "Yuk, udah siap, Lam?"

Alam mengangguk.

"Naik mobil aku aja. Kamu bisa bawa mobil, kan?"

Lagi-lagi cowok itu mengangguk. Eila memberikan kunci mobil Fortunernya. "So, bisa kita berangkat sekarang, Darling?"

Alam dan EilaWhere stories live. Discover now