Bab 18. Pelukan Tanpa Batas

4.8K 921 13.4K
                                    

13 k komen for next part?

Selamat membaca!

---

Alam memperhatikan bayi mungil yang tertidur dalam dekapan Airin sambil mengemut jempol kecilnya. Bibirnya tampak bergerak lucu. "Jadi, kenapa namanya Alam?"

"Nggak tahu, tiba-tiba nama itu yang muncul di kepala aku."

Mendengar jawaban Airin, Alam tertawa geli. "Karena belum bisa lupa dari aku?"

"Lam, aku kenal kamu dari SMA dan pacaran enam tahun lamanya. Gimana mungkin aku bisa lupa?"

Alam terenyak mendengar jawaban jujur Airin, lalu dia tersenyum tipis. "Jadi kamu tinggal di sini? Kamu nggak mau kerja lagi?"

"Mau, Lam, siapa yang nggak mau kerja? Aku mau balik kerja kayak dulu, tapi anakku masih terlalu kecil untuk aku tinggal. Lagipula kalau nggak sama aku, dia sama siapa?"

"Orangtua kamu?"

"Mereka nggak tahu aku kabur dari Malik, kalau tahu aku pasti udah digeret buat balik lagi. Yah you know, orangtuaku tuh tipe relijius yang menganggap perceraian adalah hal memalukan dan dilarang agama. Bagi mereka anggapan orang-orang lebih penting daripada mental anaknya sendiri." Airin tersenyum muram, teringat perkataan tetangganya yang sering bilang bahwa Airin berdosa jika tidak mendengarkan perkataan orangtua karena surga ada di bawah telapak kaki mereka. Tetapi jika memang begitu, kenapa mencapai surga harus sedemikian menyakitkan?

"Aku nggak habis pikir, menikahkan korban sama pelaku pemerkosaan, ini sama aja menyiksa mental seseorang seumur hidup."

Tanggapan Alam membuat Airin terdiam. Selama ini Airin dipaksa untuk bungkam, tidak ada yang tahu kronologis aslinya selain keluarganya sendiri. Hal paling menyedihkan adalah dia tidak memiliki tempat untuk bercerita. Orangtua yang selalu menjadi tiang dan tempat pelarian ketika tidak ada lagi rumah dituju justru menjelma menjadi goa gelap yang akan menelannya dengan pengap. Bahkan kakaknya sendiri, dalang dari seluruh masalah yang terjadi justru bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. "Senin depan aku bakal pindah kok, aku udah dapat tempat kost baru yang murah dan terpencil, jadi nggak ada keluargaku yang tahu."

"Terus kebutuhan kamu sehari-hari gimana?"

"Itu sih gampang, aku bakal nyari kerja, jadi buruh di pabrik-pabrik kecil juga nggak apa."

"Kamu tuh sarjana lho, kenapa milih jadi buruh pabrik?"

"Ijazah aku, semua sertifikat aku dibakar sama Malik waktu dia tahu aku mau nyari kerja di Magelang."

"Rin? Kamu serius?" Alam terlonjak dibuatnya, dia tahu bagaimana pengorbanan yang harus Airin lakukan demi lulus kuliah. "Tapi bisa kamu urus lagi, Rin."

"Ribet banget, Lam. Aku harus ke kantor polisi, belum lagi nyari saksi, ke kantor dinas pendidikan, dan lain-lain." Airin meletakkan anaknya di kasur. "Kamu mau minum apa?"

"Nggak usah, aku bentar lagi balik."

Airin mengangguk, kembali duduk di hadapan Alam. "Jadi kamu udah menikah? Istri kamu cantik, siapa namanya?"

Alam terlihat ragu-ragu untuk menjawab, dia sempat terdiam beberapa detik sebelum akhirnya berkata. "Eila ... Eila Restama."

"Kapan kamu menikah?"

"Beberapa bulan yang lalu."

"Aku doain semoga pernikahan kalian langgeng dan segera dapat momongan, ya." Doa Airin terdengar begitu tulus. Alam memandang mata gadis itu lama, sorot matanya masih sama. Dia masih seorang gadis dengan tatapan paling menenangkan yang pernah Alam temui. "Iya udah kayaknya kamu harus balik, Lam. Aku juga udah ngantuk."

Alam dan EilaWhere stories live. Discover now