Prolog (manipulasi)

544 50 19
                                    

Angin berdesir di suatu malam, membawa jutaan memoar melebihi yang bisa dibawa senja.

Seokjin termenung di balkon rumah. Kendati angin membuat surai teracak-acak serta membuat tubuhnya merinding kedinginan, dia tetap bertahan di sana sembari mempererat genggaman pada pagar.

Listrik padam lima menit lalu dan dia tidak peduli. Hamparan hitam di pandangannya menentramkan hati, seolah-olah itulah kebebasan yang dia tunggu selama ini; terkesan lapang, tidak ada paksaan, tidak ada pengekangan, terserah mau berbuat apa, tidak ada yang melihat.

Angin dingin membuatnya merasa tidak enak badan dengan cepat. Di bawah langit berkilat, Seokjin tetap bersikeras menunggu kedatangan hujan.

Cahaya senter menyorot dari dalam. Itu Jungkook, adik Seokjin. Mulanya pemuda itu hendak menutup pintu yang sedang terbuka lebar; menyebabkan hawa dingin yang tidak digadang-gadang masuk ke ruangan, serta angin yang membuat tirai jendela tergerak tidak beraturan.

"Kak Seokjin, sedang apa di sana? Ayo masuk, di luar sangat dingin."

Yang dipanggil hanya membalikkan tubuh dengan raut sendu, menatap lantai; tepatnya ke kakinya yang telanjang. "Jungkook ..., maaf." Lirihan itu tidak sampai ke pendengaran pemuda yang lain sebab terbawa lari oleh embusan angin.

"Apa? Aku tidak bisa mendengarmu. Ayo masuk saja dan bicara."

Dalam remang cahaya senter, Seokjin membuat raut wajah penuh keragu-raguan. Menautkan jari jemari dengan resah, alih-alih mengindahkan permintaan Jungkook. "Dik, tolong ...."

Kemudian semuanya gelap.



Նɿ૭Һ੮



"KAK SEOKJIN!"

Awalnya Jungkook panik setelah mendapati tempat tidur Seokjin sudah kosong, begitu pula dengan kamar mandi di kamar. Masih jam setengah enam pagi, bukan kebiasaan kakaknya bangun seawal ini. Tidak enak perasaan membuat Jungkook over thinking. Jadi, sewaktu berhasil menemukan presensi orang yang tengah dicari, dia tidak dapat menahan diri untuk tidak berteriak.

Seokjin ada di meja makan, duduk sembari menatap ke dalam gelas kaca berisi air dari lemari pendingin. Sangat melamun hingga tidak terusik sedikit pun.

Menggigit bibir bawah di ambang pintu dapur, Jungkook merasa ada yang tidak beres. Pertama, Seokjin adalah orang yang mudah terkejut; lebih-lebih saat melamun, tetapi kali ini bereaksi kecil pun tidak. Kedua, di pagi yang dingin ini, Seokjin hanya menggunakan setelan baju tidur tipis tanpa alas kaki, padahal kalau diingat-ingat, Seokjin selalu membenci dingin dan biasanya akan mengenakan lapisan ekstra setidaknya jaket guna menjaga kehangatan tubuh.

Ada apa ini? Pikir Jungkook sembari mendekati pemuda yang melamun. "Kak ...?" panggilnya sekali lagi, kali ini berusaha selembut mungkin, lalu menyentuh bahu lebar itu dengan hati-hati. "Sedang apa?" Melirik ke cangkir, Jungkook semakin heran memperhatikan keringat di gelas kaca, tetapi air di sana jelas tidak mengepul; air dingin? Kala itu juga, dia menahan diri agar tidak panik atau mencecar Seokjin dengan macam-macam pertanyaan.

Perlahan-lahan, pemuda melamun itu mengangkat kepala menatap Jungkook. Tidak mengatakan apa pun, tetapi setitik air mata terjun menggores pipinya yang tirus.

Pikiran Jungkook memproses segalanya; Seokjin tidak baik-baik saja. Setelah bersicepat menghapus air mata si kakak, dia memeluk hangat tubuh berjiwa tidak berdaya itu, menggoyangkannya ke kanan dan kiri. "Sstt .... Semua baik-baik saja. Bukan salahmu, Kak. Bukan salahmu."

Seokjin terisak-isak di pinggang adiknya, memejamkan mata saat mencoba fokus pada elusan di kepala belakang. Kedua lengan tetap berada di pangkuan, tidak sanggup membalas pelukan, karena bahkan dia merasa tidak layak untuk dipeluk. "Taehyung─"

"Tidak, Kak! Tidak .... Bukan salahmu."

Ketika mencoba menelan isak tangis untuk melanjutkan perkataan, cegukan mulai memenuhi Seokjin. "Aku membunuhnya ..., membunuh Taehyung, membunuh Taehyung. Membunuh kakakmu. Aku─"

"TIDAK! Percaya padaku, bukan kau, Kak. Dia, dia sendiri yang melompat ke sungai." Serius, Jungkook selalu tidak tahan mendengar kata-kata yang terucap sedemikian pilu dari bibir Seokjin. Rasanya seperti mata belati. Sudah cukup kepedihan atas kepergian kakak kedua, di hatinya tidak ada lagi ruang untuk menerima kepedihan lain. Tidak ada. Segalanya terasa terlalu banyak untuk ditanggung Jungkook seorang diri.

Begitu saja, keributan pergi secepat itu datang. Seokjin terlelap di dalam rengkuhan. Menyisakan si bungsu yang─lagi-lagi─harus mengais sisa-sisa duka yang mengambang di udara. Sendirian.

mungkin bab prolog agak monoton? maaf ya ...? :')

ʟɪɢʜᴛ || ¹³⁴³⁴⁰℘ɭนtσ || TW ❗ Where stories live. Discover now