01. roller coaster

348 33 6
                                    

Jungkook mengerti tentang duka dan penyesalan kakaknya; tentang jiwa yang tengah terombang ambing; terbakar temperatur es.

Yang pasti, sebelum kejadian malam itu, di pandangannya Seokjin tidak pernah tampak serapuh ini sampai-sampai Jungkook ingin melindunginya dari hal-hal buruk di dunia.

Diusapnya rambut si sulung yang sekarang gondrong; memanjang nyaris melewati perpanjangan lehernya yang jenjang; menyentuh alis. Mungkin Kakak belum punya waktu luang untuk merapikan rambut? Entahlah, setahu Jungkook pemuda yang lebih tua tidak pernah membiarkan surainya sampai sepanjang ini.

Ingin memindahkan tubuh Seokjin tanpa membangukannya, jika bisa, tetapi itu mustahil karena Seokjin adalah penidur yang ringan, suara-suara sederhana saja dapat membuatnya terusik. Jadi di sinilah Jungkook, rela bertahan demi menjadi tempat bersandar bagi si sulung untuk terlelap.

Setidaknya sampai hidung terasa tergelitik. Dia bersin dengan keras hingga membuat Seokjin tersentak bangun. Pagi ini benar-benar dingin.

Tubuh di rengkuhannya menapaki kesadaran dengan linglung, memperhatikan aroma pakaian yang menempel di indera penciuman sebelum mendongak, saling bersitatap. "Jungkook?" tanya Seokjin dengan suara khas mengantuk, kedua alis mengerut.

"Eh? Sudah merasa lebih baik?"

Beberapa detik membeku.

"APA-APAAN?!" Menyadari posisi mereka yang canggung, Seokjin mendorong Jungkook hingga mundur beberapa langkah sembari menegakkan punggung dan menempel erat ke sandaran kursi.

Mereka masih saling bersitatap, hanya saja kali ini sama-sama tatapan terkejut. Jungkook tidak percaya inilah yang dirinya dapatkan sebagai balasan setelah berpegal-pegal ria. Lupakan tentang Kak Seokjin yang rapuh, karena sekarang versi menjengkelkan sudah kembali.

"Apa yang aku lakukan di sini?" Celingukan, Seokjin memeluk tubuh sendiri, mulai menggigil.

"Kau sedang menikmati air es."

"Apa?"

"Kau mendengarku dengan baik, Bung. Sekarang habiskan secangkir air es itu sampai telingamu sakit kerena kedinginan!" Setelah itu berbalik, meninggalkan kakaknya sendirian di dapur; kakaknya yang sekarang menoleh ke cangkir berkeringat di atas meja.

"Hei, Jungkook! Sekali-kali cobalah gaya hidup anti mainstream!"

"Seolah-olah aku peduli!" sahut si bungsu, Seokjin terkekeh geli.

Begitulah cara mereka bermain; seolah-olah tidak pernah terjadi apa pun.

Seokjin tahu pikirannya kadang-kadang terlalu berkabut untuk sekadar berpura-pura kalau semuanya baik-baik saja, dia akan segera merasakan malu ketika pikirannya sudah kembali jernih.

Jungkook pernah bilang bahwa itu tidak apa; berbagi duka bukanlah sebuah keanehan, tetapi tentu saja dia masih akan terlalu malu menghadapi si bungsu, sehingga Jungkook memutuskan untuk tidak mengatakan apa-apa ketika hal itu terjadi lagi di kemudian hari; bersikap normal. Dengan begitu, meskipun masih merasa malu, setidaknya Seokjin tidak memalingkan wajah.

Mereka melakukannya dan kesepakatan─tak terucap─itulah yang paling membuat Seokjin merasa nyaman.

Sekarang berkat rengkuhan adiknya roller coaster berhasil terhentikan.

• Նɿ૭Һ੮ •


Jungkook tinggal di rumah Kakek-Nenek tepat satu minggu setelah ulang tahunnya yang ke-sembilan, secara suka rela. Baru benar-benar memutuskan pulang ke rumah Ayah─tanpa embel-embel berkunjung atau liburan─tiga minggu lalu atas saran dari Nenek untuk menemani kakaknya supaya tidak kesepian karena tinggal seorang diri di rumah. Wajar jika di antara tiga bersaudara kim, si bungsu-lah yang memiliki pikiran agak berbeda ..., agak tradisional? yah sebut saja begitu─lebih tepatnya kedua kakaknya menyebutnya begitu.

ʟɪɢʜᴛ || ¹³⁴³⁴⁰℘ɭนtσ || TW ❗ On viuen les histories. Descobreix ara