03. diam-diam

222 32 14
                                    

Tatkala sinar mentari menyisihkan kegelapan malam yang tenang, burung-burung di teras rumah mulai berkicau dari dalam sangkar, membuat rungu dua anak muda di kamar terusik.

Yang tertua membuka kedua kelopak matanya, tidak melupakan fakta kalau dirinya sedang menginap.

Menguap. Seokjin beranjak mendudukkan diri dan bersandar di kepala tempat tidur. Meluangkan sejenak waktu untuk menoleh pada Jungkook─yang memilih tetap terlelap─sebelum memutuskan pergi ke kamar mandi.

Pagi ini tidak terlalu dingin, mandi membuat tubuhnya terasa segar.

Seokjin keluar dari kamar, menoleh ke sana-sini mencari keberadaan tuan rumah. Didapatinya tirai-tirai jendela sudah terbuka, lampu-lampu ruangan telah dimatikan; terganti dengan pencahayaan alami dari mentari, serta pintu utama yang terbuka lebar. Nenek dan Kakek pasti pelaku dibalik semua ini, tetapi dirinya bertanya-tanya di mana mereka berada.

Dapur adalah tempat pertama yang tertangkap praduga. Sesaat hendak melangkah menuju ke sana, suara sepeda motor mengalihkan perhatiannya. Jadi, Seokjin membawa diri ke pintu alih-alih dapur.

Tersenyum ketika mendapati Namjoon berada di halaman depan; baru saja mematikan mesin kendaraannya. Seokjin mempercepat langkah dan berdiri di teras untuk menyapa. "Hai, Namjoon!"

Yang disapa menghampiri sembari menggaruk-garuk kepala. Gerak-geriknya teramat canggung. "Eh─hai, Seokjin. Maaf, ya, semalam─"

"Lama, ya, tidak bertemu. Kau apa kabar, Namjoon?"

Mendadak kedua alis Namjoon bertaut. Ekspresi blank. Lengan yang digunakan untuk menggaruk pun turun dengan gerakan terbata. Bertanya-tanya apa maksud pertanyaan Seokjin sebenarnya. Bercanda? Menyinggung bagian percakapan mereka semalam yang belum dia jawab? Atau hanya sekadar mengulang?

"Apa, sih, Jin? Kau agak marah, ya, karena percakapan kita semalam? Aku tidak bermaksud tidak meladenimu, hanya saja aku bingung cara menjawabnya. Dengar─" Namjoon maju selangkah lebih dekat. "kuakui aku bersalah karena menghindar─"

"Apa? Semalam? Semalam apanya, Joon?"

Sekarang mereka saling menautkan alis.

"Anu─kemarin, kan, kita sempat bicara." Sampai di sini Namjoon berusaha berpikir positif, barangkali Seokjin tidak ingat karena masih mengantuk; meskipun rambutnya lembab, menebarkan semerbak aroma sampo favorit Jungkook─ah, masa bodoh, pikirnya.

"Semalam?" Seokjin tampak berpikir keras. "Tidak, Namjoon," katanya, yakin dan final. "Mungkin kau salah ingat? Yang jelas itu bukan diriku."

Namun, ketika teringat cerita-cerita dari Jungkook lagi, Namjoon memutuskan untuk tidak berdebat. "Oke .... Mungkin kau benar, Jin. Omong-omong kabarku baik. Kabarmu bagaimana?"

Cih! Ini semua konyol, Menghadapi Seokjin membuat Namjoon merasa lucu─bukan sejenis kelucuan untuk ditertawakan.

"Kabar baik juga. Ayo, masuk. Ingin bertemu Nenek, 'kan?" Yang ditanya buru-buru menggangguk. "Kalau begitu sama. Aku baru keluar kamar, belum sempat menemui Nenek dan Kakek."

Tanpa mereka tahu, sedari tadi Jungkook mencuri dengar dari balik jendela. Wajah bantalnya cemberut karena sedih. Ingin menyudahi segalanya. Ingin melihat kakak pertamanya menjalani hari-hari normal; mengoceh, bermain basket di sekolah, belajar sampai larut malam, bermain game bersama, melakukan hal-hal demikian, setidaknya─tanpa bantuan obat yang selalu dia berikan pada Seokjin secara diam-diam.

Jika semua orang tahu keputusan besar macam apa yang telah diambil secara sepihak oleh remaja empat belas tahun seperti dirinya, mereka pasti akan marah besar, Jungkook yakin. Namun, belum ada pilihan lain. Ibu dan Ayah menyepelekan ketika dirinya membertahu perihal keadaan kakaknya, sedangkan di sisi lain, hampir setiap hari kakaknya menghadapi trauma tentang kematian Taehyung. Meminta bantuan Kakek dan Nenek juga rasanya sungkan, tidak tega jika menambah beban pikiran mereka lebih dari yang sudah ada. Lagi pula, pergi menemui spesialis juga memerlukan uang, jadi, apa yang dapat dilakukan seorang anak remaja seperti dirinya?

ʟɪɢʜᴛ || ¹³⁴³⁴⁰℘ɭนtσ || TW ❗ Where stories live. Discover now