07 : for you

119 23 3
                                    

[Apakah mereka akan membuangmu, Seokjun-ah?]

Pesan itu membuatnya mual sampai tersedak hebat, hanya sekali. Seokjin melempar ponselnya ke lantai. Mencoba menenangkan gemuruh emosi. Tak terelakkan, kalau dirinya juga berpikir demikian. Jadi, sekalipun bukan namanya yang tertera di sana, tetap saja pertanyaan itu berdampak, membuat dirinya merasakan kemirisan yang teramat dalam pada diri sendiri.

Lagi pula pesan itu memang ditujukan padanya, dia yakin. Bukan sekali dua kali nomor misterius itu mengirimkan pesan yang sangat pas dengan putaran situasi di sekelilingnya.

Segalanya mulai di luar kendali, dia tidak bisa menenangkan diri. Kedua kakinya dengan cepat menginjak lantai untuk melarikan diri ke kamar kecil, berakhir berlutut di depan water closet dan tersedak hebat tanpa mengeluarkan apa pun. Rasanya sangat sakit, dadanya mengalami tekanan berat.

Betapa memuakkannya seluruh situasi ini.

Ada tangan seseorang di bahunya saat dia mulai terbatuk. Seokjin memejamkan mata dan kembali tersedak, lalu terbatuk lagi.

Butuh beberapa saat hingga semuanya mereda begitu saja, menyisakan napas terengah.

"Seokjin-ah ...?"

Seokjin yang menunduk kelelahan mengangkat kepala saat suara yang sangat dikenalnya memasuki rungu, menggetarkan hati. Dia tidak pernah menyangka ibu akan datang dan menyentuh bahunya yang ringkih. Sungguh dia tidak sanggup menoleh ke belakang, karena dia sangat ingin memeluk sosok yang paling dirindukannya ini, sedangkan sebagian besar dirinya sangat takut ditolak.

"Seokjin-ah?" Dari belakang, jemari Jieun merambat ke pipi kiri Seokjin, membujuk pemuda itu agar menoleh dengan tarikan lembut. Begitu tatapan mereka terhubung, Jieun dapat menyaksikan air mata meluncur dari kedua pelupuk mata anaknya.

"Kau kenapa?"

Yang ditanya berusaha berdiri, kemudian mencoba mengeluarkan diri dari ruangan tempat mereka terkurung bersama, diikuti oleh Jieun yang tidak mencegah; memang sudah seharusnya mereka bicara di tempat yang lebih layak.

Tatkala telapak kaki menginjak permukaan lantai di tengah ruangan, Seokjin mengalami kebingungan ekstrem. Aku kenapa? Tanyanya. Tiba-tiba merasa bahwa dirinya hanya bersikap berlebihan, padahal keputusan ini adil, padahal keputusan ini benar─jika kata-kata Jungkook memang benar adanya. Dia tidak perlu tetap di sini dan menyusahkan semua orang, 'kan? Namun kenapa menyakitkan?

Kedua lengannya terangkat meremat helai-helai rambut, menunduk. Seluruh kulit kepalanya gatal. Pada siapa dia harus bertanya tentang emosi bercabang dalam hatinya?

"Seokjin."

Seokjin menoleh pada suara akrab lainnya yang muncul dari pintu, tidak dapat mengatasi kejutan besar di hatinya ketika mendapati sosok ayah berdiri di sana. Kakinya tersandung ke belakang, langsung jatuh terduduk. Cahaya besar menyerbu ruangan dari ujung ke ujung karena Jieun membuka gorden jendela di belakang punggungnya.

"Kami tidak pernah menghakimimu secara lisan atas perbuatanmu pada Taehyung." Jisung melangkah lebih dalam ke ruangan. "tapi kau menyusahkan adikmu yang lain."

Seokjin bahkan tidak sanggup mengangkat kelopak matanya untuk menatap sang ayah, kata-kata itu membuatnya sangat malu.

"Katakan sesuatu, Seokjin," kata Jieun, masih berdiri di samping jendela.

"Aku─" Menelan ludah, sembari berharap kelu bibirnya hilang. "aku tidak bermaksud menyusahkan Jungkook."

Jisung memasukkan kedua buku tangannya ke saku celana. "Hem, sebenarnya itu tidak penting lagi. Bangunlah. Kau boleh menghabiskan waktu dua hari di rumah."

ʟɪɢʜᴛ || ¹³⁴³⁴⁰℘ɭนtσ || TW ❗ Where stories live. Discover now