2 - one more time

24 7 0
                                    


Bias matahari yang lolos dari kerai jendela menggelitik kelopak mata Vel, membuatnya terbuka. Vel terbangun tanpa ingat kapan dia terlelap. Dia berusaha mengumpulkan kesadarannya yang tercecer, membedakan mana yang realita mana yang mimpi belaka. Mimpinya terlalu nyata, kadang. Otaknya memilah-milah: semalam, apa benar dia dan Tantra anniversary dinner, yang kemudian dirusak oleh bos dan klien-kliennya yang tidak tahu etika? Ya, itu benar terjadi. Lalu sepulang dari sana, mereka bertengkar panjang lebar? Ya, juga. Lalu, kalau bagian dia liburan sendirian untuk diving di perairan Bunaken? Berburu pernak-pernik unik di Pasar Bringharjo Yogyakarta? Berwisata kuliner dengan sosok seorang pria yang sangat mirip Bram mantan terindahnya? Sayangnya, semua bagian yang itu hanya mimpi, meskipun Vel agak kecewa mengakuinya.

Ketika benaknya berhasil menyatukan keping demi keping ingatannya kembali, Vel bangkit mendadak ketika menyadari hari sudah pagi. Sekesal apapun dia kepada Tantra, dia tetap harus membangunkannya, menyiapkan pakaian kerjanya, dan memasakkan sarapan sekaligus bekal makan siang suaminya itu. Kalau tidak begitu, lelaki itu mungkin tidak akan masuk kerja sekalian. Sebergantungnya itu Tantra terhadap Vel. Vel akan memastikan untuk mengingatkan Tantra tentang hal itu nanti ketika dia menyajikan sarapan. Ditambah sedikit sindiran pedas tentunya.

Namun ketika Vel menoleh, Tantra tidak ada di sampingnya. Malah, bagian ranjang yang biasa ditiduri Tantra seperti belum terjamah sama sekali.

Masa saking ngambeknya dia sampai tidur di ruang tamu sih? geram Vel. Bocah banget!

Tangannya meraih meja samping tempat tidurnya untuk mengecek jam dari ponselnya ketika dia menyadari sesuatu.

Foto mereka berdua yang biasa bertengger di atas meja tidak nampak keberadaannya.

Menganggap paling-paling figura itu jatuh ke belakang meja, atau dipindahkan oleh Tantra entah ke mana, Vel menolak untuk ambil pusing. Dia beranjak ke kamar mandi untuk memulai ritual morning skincare-nya. Setelah semalam dia lewatkan, tidak mungkin ritual pagi ini dia abaikan.

Vel menyalakan lampu kamar mandi dan membuka kabinet di atas wastafel. Vel tahu dia akan disapa oleh berbagai botol, tubes, dan jars beraneka ukuran dan warna, ditambah dengan sabun muka, deodoran, dan pomade milik Tantra yang hanya bisa menyempil di sudut kabinet saking sedikitnya ruang yang tersisa. Tapi pagi ini, produk-produk itu tidak nampak batang hidungnya.

Dengan mengerutkan kening, Vel menoleh ke mug bersablon Mr. & Mrs. yang Vel dan Tantra pakai untuk jadi tempat sikat gigi mereka. Hanya ada sikat gigi milik Vel di sana. Belum lagi, mug itu berubah menjadi warna ungu polos tanpa tulisan.

Kepanikan mulai menampar Vel. Dia menghambur keluar dan membuka pintu lemari. Semua baju-bajunya tergantung dan tersusun rapi di sana, namun tidak tampak satupun pakaian Tantra, luar maupun dalam. Hal yang kemudian langsung terlintas di kepala Vel adalah bagaimana semalam Tantra mengemas semua barang-barang miliknya dan pergi meninggalkan Vel. Dia lalu mengecek ruang tamu. Tidak ada tanda-tanda alas kaki lain selain milik Vel.

Tapi yang paling membuat darahnya membeku, dinding ruang tamu yang biasanya memajang foto pernikahannya beserta beberapa foto pre-wedding mereka di Karimun Jawa, kini malah memamerkan beberapa figura berisi jepretan monokrom yang, meskipun estetis, tidak jelas buatan siapa. Masa iya kalau pun Tantra pergi meninggalkan dia, dia sampai repot-repot membawa-bawa foto nikah mereka yang ukurannya hampir selebar meja?

"Tan?"

Panggilan Vel bergaung di setiap permukaan rumahnya yang kosong. Vel mulai memeriksa ulang setiap ruangan sambil terus memanggil suaminya. Dapur, taman kecil di depan rumah, bahkan kolong tempat tidur dan belakang sofa. Vel menengok keluar. Mobil Tantra masih terparkir rapi persis di tempatnya semalam. Siapa tahu Tantra sedang ngerjain dia, dan akan tiba-tiba muncul sambil berteriak, "Hayo lho, nyariin aku kan? Tuh kan, kamu sebenarnya nggak bisa hidup tanpa aku?", atau kalimat menyebalkan lainnya.

The Presence of Your AbsenceWhere stories live. Discover now