6 - come home to me

17 5 0
                                    

Tantra sendiri bukan perokok. Dia pernah mencoba, katanya, tapi tidak habis pikir enaknya di mana. Vel hargai itu, tapi diam-diam selalu merasa itu membuat Tantra kurang jantan. Bagi Vel, harus ada sesuatu yang membuatnya lebih "liar", karena Tantra terlalu ... tawar.

Kadang Vel bertanya-tanya sendiri, mengapa dia mau menukar kehidupannya yang dulu penuh petualangan bersama Bram dengan sesuatu se-vanila Tantra.

Ketika mereka pacaran dulu, Bram menawarkan Vel tantangan. Penaklukan. Segala yang membuat jantungnya berdebar-debar akan kejutan selanjutnya yang dipersiapkan lelaki ini. Pernah suatu kali, ketika Vel baru selesai kuliah, Bram tiba-tiba datang ke kelasnya dan menyodorkan dua tiket.

"Sabtu besok, kita trip ke Borobudur. Perginya pake pesawat low cost, pulangnya backpacking. Mau?"

Kejutan-kejutan seperti itu seolah kebudayaan alien untuk Tantra.

"Nge-trip? Ribet amat. Ngapain kudu capek-capek pergi buat ngeliat hal yang bisa kita tonton di YouTube pake VR headset?" adalah salah satu responnya ketika suatu hari Vel mengajaknya berlibur ke Labuan Bajo. Bahkan bulan madu mereka pun mereka habiskan di hotel di dalam kota, suatu hal yang masih membuat Vel geram setiap kali mengingatnya.

Ketika Bram datang ke mejanya tadi, Vel hampir tidak mempercayai matanya. Bram memang selalu bugar, tapi kemejanya yang terlihat mengetat di bagian lengan dan bentuk otot perutnya yang tercetak dari balik pakaiannya menandakan dia sekarang rutin menyambangi gym.

Namun pikiran itu tersingkirkan begitu saja ketika sekonyong-konyong Bram mengambil tempat di kursi depan Vel. Udara langsung dipenuhi wangi parfumnya.

"Kalau kamu sekarang kerja di mana Vel? Masih di kantor yang waktu itu?" tanya Bram, lesung pipitnya mengembang bersama senyum.

"Um," Vel hilang kata. Dia sebenarnya tidak tahu mesti menjawab apa. Dia masih belum mengecek satupun email dan pesan WhatsApp yang muncul ke ponselnya dari tempat yang seharusnya jadi kantornya itu.

"Ya gitu deh, hehe," jawabnya akhirnya. "Kalau kamu? Kapan balik ke Indonesia?"

"Tahun lalu. Sebenarnya, tadinya aku mau lanjut tinggal di Berkeley karena sudah nyaman di sana. Tapi ternyata Papaku wafat. Jadi aku harus pulang ke Indonesia supaya bisa melanjutkan bisnis properti peninggalan Papa."

"Oh ... Maaf banget aku baru tahu. Aku turut berduka cita atas meninggalnya Om."

Vel memang hanya sekali bertemu dengan orang tua Bram ketika mereka masih pacaran dahulu. Bram memperkenalkan Vel kepada ayah dan ibunya di acara ulang tahun adiknya, Bianca. Vel mengobrol singkat dengan Papanya Bram. Sebatas basa-basi saja, namun dengan harap-harap cemas, berdoa semoga dia tergolong calon menantu ideal di mata beliau.

"Thanks, Vel. Aku udah nggak apa-apa kok. Sebenarnya ... Salah satu penyesalan terbesarku adalah Papa nggak sempat mengenal kamu lebih dalam karena kita keburu putus. Dia pasti bakal suka banget sama kamu."

Bram tertawa renyah setelahnya, membuat Vel ikut tertawa singkat sambil bertanya-tanya apakah tadi cuma kelakar atau Bram benar-benar serius.

"Kamu masih suka ngemilin pastry?" tanya Bram tiba-tiba.

"Hah? Maksudnya?"

"Inget nggak waktu kita datang ke ulang tahunnya Bianca, adikku? Waktu aku kenalin kamu ke mendiang Papa dan Mama pertama kali. Kamu makan apple pie, tapi isinya kamu pisahin ke luar, dan kulit pastry-nya kamu celup-celupin ke minuman kamu—kalo nggak salah waktu itu green tea latte dingin—dan kamu cemilin."

Alis Vel terangkat. Dia memang suka melakukan itu, tapi selalu tanpa sadar. Baginya kulit pastry lebih enak dimakan terpisah dari filling-nya.

Tapi bagaimana bisa Bram masih bisa mengingat kejadian sesepele itu setelah bertahun-tahun kemudian? Otomatis Vel tidak bisa tidak membandingkan Bram dengan Tantra, yang bahkan tidak ingat kalau kemarin seharusnya anniversary pernikahan mereka kalau Vel tidak menandainya tebal-tebal di kalender dan memasang alarm dan reminder di ponsel Tantra dari seminggu sebelumnya.

Dan itu pun rusak total ketika Tantra malah memilih memuaskan atasan-atasannya ketimbang menyenangkan istrinya sendiri.

Beberapa menit penuh basa-basi setelahnya, Bram memusatkan matanya yang keterlaluan tajamnya pada Vel. Dia tahu, Bram akan mengeluarkan pertanyaan yang sejak dari tadi gatal ingin dia tembakkan.

"Kamu ... masih single, Vel?"

Walaupun sudah Vel antisipasi, tetap saja pertanyaan itu membuatnya salah tingkah. Dia melirik jari manis polosnya yang seharusnya dilingkari cincin kawin.

Salahkah jika, selama setengah jam yang baru berlalu tadi, dia benar-benar nyaris lupa soal hilangnya Tantra?

Tantra. Suaminya. Ingat? Orang yang berbagi hidup dengannya selama tiga tahun penuh. Lelaki yang tidur satu ranjang dengannya setiap malam, kadang dengan posisi sembarangan yang memaksa Vel untuk merapatkan tubuhnya ke dinding. Tantra yang tidak suka pedas, tidak suka kopi, tapi betah begadang sampai fajar hanya untuk bermain game online. Tantra yang datang pada saat Vel merasa sangat sendirian di pekerjaan barunya, menawarkan bantuan untuk apapun yang Vel butuhkan. Tantra yang pernah meluluhkan hatinya dengan ketulusannya, hingga akhirnya Vel mengiyakan ajakannya untuk menikah.

Tapi apakah Tantra benar-benar pernah membuatnya jatuh cinta?

Ya, Vel mencintai Tantra ketika mereka mengucapkan janji sehidup semati di hadapan Tuhan dan semua anggota keluarga mereka. Ya, Vel mencintai Tantra ketika dia memuji masakannya dan membelikannya apa saja yang Vel minta. Ya, Vel mencintai Tantra ketika dia memeluknya dari belakang, menghirup aroma tubuhnya lewat tengkuknya, dan kemudian tertidur sembari melingkarkan tangannya di pinggang Vel.

Tapi, apakah Vel mencintai Tantra sekarang?

Vel lupa kapan terakhir kali melihat sosok Tantra dan benar-benar merasa ingin memeluknya, ingin tersesat dalam dekapannya. Rasanya sudah lama sekali sejak dia merasa begitu.

Dia menarik napas panjang.

"Aku ... sekarang lagi sendiri, kok."

Vel terkejut betapa ringannya kalimat itu meluncur dari mulutnya.

Bram tersenyum lebar. Giginya bisa dipakai Vel untuk berkaca. Vel teringat bagaimana dia harus sering mengomel agar Tantra mau menggosok giginya setiap malam sebelum tidur. Vel kadang merasa dia sedang mengurus bayi raksasa yang susah diatur.

"Kebetulan. Aku juga sama. Siapa tahu ... kapan-kapan kamu mau jalan bareng?" ujar Bram, dan Vel tidak perlu diyakinkan lagi.

Mereka bertukar nomor ponsel dan mengucapkan sampai jumpa lagi.

Lama setelah punggung Bram melangkah keluar dari pintu kafe, Vel masih terduduk di tempat yang sama. Kepanikan, kebingungan, hingga pening yang dia rasakan sejak pagi tadi gara-gara ketiadaan Tantra berangsur-angsur mereda.

Vel merasa bersalah? Tentu. Bukankah dia semestinya mencari segala cara untuk memecahkan misteri hilangnya Tantra dan merasionalisasikan ini semua?

Salahkah Vel jika dia merasa bersalah hanya karena dia tidak merasa bersalah?

The Presence of Your AbsenceWhere stories live. Discover now