4 - why can't you stay?

21 5 4
                                    


Vel menstarter mesin dan mulai memundurkan mobilnya, dan langsung mendengar klakson kencang dari arah belakang. Dia sama sekali tidak melihat ada motor yang lewat di belakang mobilnya tepat ketika dia menginjak gas. Vel seketika mengerem, dan pengendara motor itu langsung melesat pergi, sengaja mengencangkan deru mesin motornya sebagai tanda amarah.

Vel menghela napas panjang, berusaha menenangkan dirinya. Ini semua gara-gara Tantra, mengacaukan pikirannya seperti ini. Membuatnya sulit berkonsentrasi dan bahkan nyaris melukai orang lain.

Dia mencoba lagi memundurkan mobilnya dan berhasil. Vel baru sadar, keringat dingin melelehi seluruh tubuhnya saat dia memacu mobilnya menuju rumah mertuanya yang dia panggil Mama juga. Terakhir kali dia menyetir adalah tiga tahun yang lalu, tapi Vel sama sekali tidak ingat mengapa dia berhenti mengemudikan mobil sendiri sejak itu.

Sama seperti nomor Tantra, nomor mertuanya juga raib dari Kontak di ponselnya. Begitu pun nomor ponsel adik-adik iparnya.

Luar biasa rapi Tantra menghapus semua jejak keberadaannya demi bisa mengerjai Vel.

Vel menyetir tanpa benar-benar memperhatikan jalan di hadapannya, membuatnya lagi-lagi beberapa kali nyaris bertabrakan dengan pengendara motor lain. Karena benaknya yang begitu terdistraksi, Vel tidak pernah menyadari semua motor itu berjenis dan berplat nomor sama. Vel mencoba mengingat kapan terakhir kali dia mengunjungi rumah ibu mertuanya. Sebulan lalu? Tidak. Dua bulan lalu? Mungkin. Tapi rasanya jauh lebih lama dari itu. Apakah justru terakhir kali dia ke sana adalah hari raya tahun lalu?

Entahlah. Semuanya mendadak menjadi kabur.

Untunglah Vel hapal di luar kepala jalan ke rumah mertuanya yang tinggal di seberang kota, dengan jalan tikus yang menanjak dan penuh liku. Dia tahu dia tidak mungkin salah. Dia masih mengingat markah-markah jalannya, seperti masuk ke jalan yang tugu abu-abu, belok kanan setelah minimarket ini, melewati kios itu, dan rumah mertuanya tepat berada di balik rumah tua berwarna hijau bolu pandan.

Vel mengerem mendadak. Ban mobilnya mengeluarkan suara berdecit dan kepala Vel nyaris terantuk dengan keras ke kaca di hadapannya.

Rumah mamanya Tantra harusnya ada di sini. Dia ingat benar. Dia tidak mungkin salah. Vel dan Tantra sering bercanda tentang betapa norak bentuk rumah bolu pandan itu setiap kali mereka mengunjungi ibu mertuanya.

Namun yang ada di hadapannya adalah sepetak tanah kosong dengan timbunan sampah di tengah-tengahnya.

Nggak mungkin. Nggak mungkin. Nggak mungkin...

Rasanya seperti setiap tetes darah terserap keluar tubuh Vel. Kembali kepalanya pening berdentum-dentum. Dia baru menyadari telapak tangannya yang basah kuyup karena keringat.

Sesosok pria berpakaian lusuh dan bertopi caping lewat di sebelah jendela mobil Vel. Di punggungnya tersampir keranjang anyaman bambu. Dia menghampiri gunung sampah di lahan kosong yang seharusnya rumah mamanya Tantra itu dan mulai mengoreknya menggunakan tongkat logam di tangannya. Setiap botol plastik yang dia temukan dilemparkan ke keranjang bambunya.

Vel turun dari mobil. "Permisi, Pak."

Pria itu menoleh. "Ya, Bu?"

"Di sini bukannya tadinya ada rumah ya, Pak?"

Pemulung itu menatapnya bingung.

"Ini Jalan Arjuna nomor 17, kan?" tanya Vel.

"Ini emang Jalan Arjuna, Bu. Tapi tanah ini udah kosong dari jaman saya masih muda. Dari dulu juga udah dipake buat buang sampah sama warga sini."

Dentum di kepala Vel terdengar semakin keras di telinganya.

"Tapi... Tapi bukannya ini rumahnya Ibu Herawati, Pak?"

The Presence of Your AbsenceWhere stories live. Discover now