8 - don't run away

20 4 0
                                    

"Silakan masuk, Bu Evelyn," suara Amanda membuat Vel tersentak. "Pak Thomas sudah menunggu Ibu dari tadi."

Tadinya, Vel sempat membayangkan sosok Amanda seperti idol K-Pop versi Indonesia. Kurus langsing, putih tinggi, wajah semulus lantai lobi hotel, lengkap dengan rambut kecoklatan panjang bergelombang. Sama sekali tidak terlintas di pikirannya sosok gadis dengan potongan rambut pendek yang tidak sama panjang kiri kanannya, serta tinggi badan di bawah rata-rata. Dia tampak masih sangat muda, seperti baru saja lulus SMA. Pakaiannya memang baju kerja formal biasa, namun yang membuat Vel tertegun adalah warna lipstiknya. Hitam legam.

"Baik, terima kasih, Bu—" menyebut 'Ibu' sepertinya tidak tepat. Vel buru-buru mengganti ucapannya. "—Mbak Amanda."

Amanda mengangguk. Wajahnya ramah, tapi di saat yang sama, tanpa ekspresi. Sama seperti suaranya.

Vel menyadari betapa gemetar jari-jemarinya saat mendorong pintu kaca menuju kantor pribadi Pak Thomas. Dia bahkan nyaris tersandung di karpet.

Helai-helai rambut abu-abu yang tidak sepenuhnya menyembunyikan kebotakan yang mulai muncul adalah hal pertama yang Vel lihat ketika dia memasuki ruangan. Laki-laki itu tengah memunggungi pintu, wajahnya menghadap jendela sebesar dinding di sebelah meja kerjanya. Dia baru berbalik ketika mendengar kedatangan Vel.

"Evelyn!"

Seperti ingin memeluk Vel, laki-laki paruh baya itu membuka lengannya, tapi kemudian segera dia turunkan lagi. Wajahnya berseri-seri, dan Vel teringat tawanya yang membahana di meja makan di restoran semalam, ketika mengajak Tantra dan Vel bergabung ke mejanya.

"Ini istri kamu, Tan?" tanya Pak Thomas dari seberang meja restoran. Tantra yang cengar cengir bodoh mengangguk sambil memperkenalkan Vel.

"Evelyn juga pernah kerja di Simulatech, Pak. Tiga tahun lalu. Dia kerja di bawah " ujar Tantra.

"Ooo," hanya sesingkat itu tanggapan dari Pak Thomas, dan hanya sebegitu saja yang meluncur dari mulutnya yang ada kaitannya dengan Vel. Seterusnya, dia sibuk menyambungkan pembicaraan antara klien-klien Koreanya dan Tantra. Dia bahkan sempat memuji Tantra setinggi langit, menjulukinya karyawan teladan dan berbakat.

"Tantra ini yang menjadi project manager pengembangan software kami yang terbaru," kata Pak Thomas, yang langsung diteruskan kepada para klien Korea-nya dengan bantuan seorang penerjemah. "Seperti yang sudah saya jelaskan tadi kepada Bapak-Bapak di sini, software ini bukan hanya terbilang breakthrough, tapi juga sangat tepat bagi kebutuhan perusahaan Anda. Untuk ... yah, Anda tahu lah, memilah yang layak di antara yang tidak."

Kalimat ini nampaknya sangat lucu bagi pria-pria Korea itu, karena mereka terbahak mendengarnya.

Seterusnya, Vel sudah tidak memperhatikan lagi arah pembicaraan mereka. Pikirannya kosong, dipenuhi suara dengung kekesalannya. Sepanjang malam, dia merasa tidak ubahnya pot tanaman di sudut ruangan: hanya dianggap dekorasi semata.

Dan kini, berhadapan langsung dengan atasan suaminya yang mengobrak-abrik makan malamnya itu, Vel ingin sekali meluapkan amarahnya. Tapi sulit rasanya sebal pada orang yang menyambut kedatangannya dengan begitu ramah.

"Tadi pas meeting kamu ke mana?" tanya laki-laki itu, tanpa tedeng aling-aling. Auranya hangat, dan nada suaranya mengingatkan Vel pada papanya sendiri. Berbeda sekali dengan sikapnya semalam. Tetap saja, Vel gelagapan.

"Sudah, tidak apa-apa. Tidak penting. Duduk dulu, Vel. Ada kabar bagus."

Tangan Pak Thomas menunjuk sofa di dekat meja kerjanya. Vel duduk dengan patuh, setengah karena penasaran, setengah karena tidak tahu musti berbuat apa lagi.

The Presence of Your AbsenceWhere stories live. Discover now