5 - ooh, my love--

24 6 1
                                    

Vel belum pernah merasa setakut ini seumur hidupnya.

Lama Vel terpekur di dalam mobilnya. Baru pukul sembilan kurang sedikit, tapi matahari terik sudah mulai memanggang seisi mobilnya layaknya oven yang tengah mematangkan daging. Suhunya melunturkan riasan Vel dan membuat rambutnya lepek karena keringat. Bahkan AC yang dia pasang dengan kapasitas maksimal pun tidak terasa bekasnya.

Vel butuh tempat untuk berpikir. Untuk mendinginkan kepalanya.

Setelah mengelap air matanya dengan punggung tangan, Vel mulai menstarter mobilnya dan menyetirnya pergi menjauhi lahan kosong tadi. Kepalanya yang masih saja berdenyut-denyut pening menjerit minta diredakan. Biasanya hanya satu obat yang mujarab untuk itu, residu dari kebiasaannya ketika masih menjalani kehidupan perkantoran sebelum dia menikah dahulu:

Secangkir kopi latte hangat.

Vel memacu mobilnya menuju kafe pertama yang dia nilai cukup cozy di sekitar situ. Setidaknya, dengan latte yang kini sudah ada di genggamannya, dan atmosfer coffee shop yang lumayan lengang di jam kantor sekarang, dia bisa sedikit lebih bisa bernafas.

Vel menyeruput cangkirnya perlahan. Seolah jadi ironi yang semesta sengaja mainkan untuknya, musik di kafe ini mulai mengalunkan Spooky-nya Dusty Springfield. Lagu yang mengisahkan laki-laki yang tidak bisa ditebak maunya apa. Sesaat dia mengedip genit untuk para gadis. Sesaat kemudian, dia menggenggam erat si tokoh perempuan yang diwakili si biduan.

Tantra, kamu maunya apa sih?!

Dari sejak sebelum Vel meninggalkan rumah, layar ponsel retaknya masih berkedip-kedip menampilkan reminder rapat yang entah untuk apa itu. Bahkan ponselnya sendiri, benda yang sudah seperti sahabat paling eratnya selama ini, jadi terasa amat asing baginya. Sejak satu jam yang lalu, ponsel itu menerima pesan singkat sekaligus dering telepon yang bertubi-tubi. Semuanya datang dari nama-nama yang ada di Kontak ponselnya, tapi tidak Vel kenali. Tidak ada satu pun yang Vel angkat, lihat, apalagi balas.

Suara Dusty yang menggoda memanja malah terasa seperti mengejeknya.

Dia belum gila. Dia yakin sekali. Tiga tahun terakhir pernikahannya dengan Tantra tidak mungkin cuma khayalannya.

Iya kan?

Benar kan?

Vel menenggak habis kopinya. Kepalanya masih pening, tapi denyutnya sudah tidak separah sebelumnya. Sedikit demi sedikit dia menyusun nalarnya kembali. Mengecek lagi kondisi kejiwaannya, karena dia yakin sekali dia tidak gila.

Pertama, Tantra menghilang. Berikut kehilangannya, semua hal yang berkaitan dengan keberadaannya juga ikut lenyap.

Lalu, tadi pagi, Mama meneleponnya, menyebutkan Papa, Evita, dan Tobi keponakannya. Berarti keluarga dia masih sama, tidak berubah. Satu-satunya yang membedakan adalah mereka tidak mengenali Tantra.

Kemudian, rumah mertuanya. Dia memang jarang ke sana... Tapi masa iya dia sampai salah jalan dan menyasar ke tanah kosong tempat pembuangan sampah?

Dan Sierra...Sahabatnya itu justru adalah orang yang paling tidak mungkin berbohong padanya. Vel yakin Sierra lebih baik terjun ke sumur ketimbang mau diajak Tantra bekerjasama mengerjai Vel.

Dipikir-pikir, usulan Sierra tadi tidak buruk juga. Dia mungkin memang perlu ke psikolog. Siapa tahu dia benar-benar tidak waras. Siapa tahu Tantra benar-benar tidak pernah ada di dunia ini.

Atau, dia mungkin perlu lapor ke polisi? Polisi pasti punya data semua penduduk. Vel ingat, Tantra pernah kehilangan dompet tidak jauh dari supermarket dekat rumah mereka. Tantra langsung lapor ke polres dekat sana.

Tapi kalaupun Vel melapor, memangnya apa yang akan dia bilang pada polisi? Terlintas di kepalanya, percakapan yang kira-kira akan terjadi nanti:

"Pak, saya mau melaporkan kasus orang hilang."

"Apa hubungan saudari pelapor dengan orang yang dilaporkan hilang ini?"

"Dia sua—"

Di situ Vel akan teringat bahwa dia tidak memiliki dokumen apa pun yang bisa membuktikan ikatannya dengan Tantra.

"Um ... Dia kenalan saya, pak."

"Kenalan?" mata polisi itu pastinya akan menyipit curiga. "Bagaimana dengan keluarga orang yang dicurigai hilang ini? Anda sudah menghubungi mereka?"

Setelah itu, lidah Vel akan menjadi kelu. Semua nomor kerabat Tantra yang tentunya tidak Vel hapal di luar kepala sudah tidak ada bekasnya. Bahkan rumah mertuanya saja tidak ada.

"Bagaimana, Bu? Bisa tolong jelaskan lebih rinci?"

Vel membayangkan bagaimana pandangan polisi itu semakin menusuk, menyelidikinya, dan Vel akan semakin merasa mengecil, terpojok, terbata-bata—

Vel mengerjapkan matanya berulang kali, berusaha mengusir adegan yang baru saja direka oleh otaknya tadi. Melapor ke polisi sepertinya memang bukan opsi yang tepat, kecuali dia mau langsung dicap tidak waras dan dikawal ke sel khusus penderita gangguan jiwa.

"Evelyn? Vel?"

Suara sapaan itu membuatnya mendongak. Seorang laki-laki berdiri di samping mejanya, dengan wajah yang dulu pernah begitu akrab dengan Vel, dan senyuman yang pernah membuatnya mabuk kepayang.

"Apa kabar?"

Dia bahkan terlihat lebih menawan dari terakhir kali Vel mengingatnya.

Vel menyeka bekas air mata di pipinya dan memaksakan senyum. Bagaimanapun, Vel tidak bisa bohong kalau perutnya mendadak terasa digelitik ratusan kupu-kupu, seperti yang dulu pernah dia alami saat pertama kali berkenalan dengan sosok ini.

"Hai, Bram," jawab Vel. "Kabarku ... baik. Kalau kamu?"

*

Vel tidak menyangka, pertemuan singkatnya dengan Bram tadi menyisakan kebahagiaan yang sudah lama sekali tidak dikecap olehnya dalam rumah tangganya bersama Tantra.

Tidak seharusnya orang dalam situasi Vel merasa seperti ini. Vel rasanya ingin mengutuki dirinya sendiri, menuntut adanya rasa bersalah yang sewajarnya menggerogoti. Tapi Vel tidak bisa memalsukan kenyataan bahwa hatinya malah seperti remaja perempuan yang baru bertemu cowok yang dia taksir.

Bramastya memang selalu karismatik. Sejak Vel pertama kali mengenal Bram sebagai kakak tingkatnya di klub protokoler di kampus, Vel telah mengidolakannya. Mereka menjadi dekat setelah sama-sama terlibat dalam kepanitian sebuah acara akbar, hingga akhirnya setuju untuk berpacaran. Hubungan mereka bertahan dan berjalan cukup mulus selama hampir dua tahun, hanya mulai goyah ketika Bram mulai mengambil S2 di Amerika Serikat. Perbedaan waktu yang mencolok, kesibukan perkuliahan Bram, dan Vel yang tidak tahan berhubungan jarak jauh membuat mereka sepakat untuk putus baik-baik. Beberapa bulan setelahnya, Vel berkenalan dengan Tantra di kantor pertamanya.

Tidak sampai dua tahun kemudian, Vel dan Tantra menikah.

Namun ketika semesta yang kini sedang mengerjainya, menyembunyikan Tantra entah bagaimana dan membuatnya merasa gila itu malah menyodorkan momen tidak terduga bersama Bram, Vel mulai menyesali mengapa waktu itu dia memilih putus dengan lelaki itu. Tiga tahun belakang pastinya akan sangat berbeda jika Vel melaluinya dengan Bram dan bukan dengan Tantra. Jika saja, dia bisa bertahan menjalin LDR sebentar saja ...

Ngomong-ngomong, Bram baru saja pamit pergi. Harus kembali ke kantornya, katanya. Wangi parfumnya masih tertinggal. Ada sedikit bias aroma rokok yang mungkin tadi sempat dihisap Bram sebelum masuk ke kafe. Namun bukannya tidak sedap, campuran bau itu malah Vel hidu sebagai manis tapi maskulin. Membuat nyaman.

Dulu, wangi ini bagai oksigen keduanya.

The Presence of Your AbsenceWhere stories live. Discover now