Ι

637 19 0
                                    

IOTA
Huruf ke-9 dalam alphabet Yunani
*satuan bilangan imajiner
ι







S

eli tidak berhenti mengumpat sejak mendapatkan kabar dari pihak PLN bahwa lampu di rumahnya akan dipadamkan sampai dia membayar tagihan yang melonjak selama setahun.

"Anying emang," kata Seli yang sedang bicara dengan Dera lewat telepon.

"Selama ini gue tinggal di asrama semenjak Nenek sama Kakek gue nggak ada. Nggak ada yang pake listrik di rumah ini, njir. Kenapa bisa kena tagihan juga sih?

Emang masih uang peninggalan mereka berdua sebelum mati, sih, tapi kan itu uang mau buat beli sice baru. Anying, emang."

Seli menendang meja makannya yang hanya berisi sepiring ayam geprek dan nasi.

"Sabar!" kata Dera sambil menguap. "Nginep rumah gue aja sini."

"Kagak, ah, males."

"Gue suruh supir jemput lo."

"Nggak usah. Males bawa-bawa seragam buat sekolah besok."

"Eh, pr matematika udah dikerjain belum?" tiba-tiba nada bicara Dera jadi lebih semangat.

"Gimana gue bisa ngerjain pr kalau dalam keadaan gelap kayak gini?"

Dera tertawa. "Halah, alasan aja lo, Sel. Orang lain mah masih ada nyediain lilin. Emang, ya, kalau jiwa-jiwa pemalas pasti cari alasan buat nggak ngerjain pr."

"Udah dulu, Der. Batere gue mau abis." Seli menggaruk rambutnya. Duduk di kursi sambil meringis karena ujung jempol kakinya terasa perih.

Salah sendiri, tenda-tendang meja segala.

Panggilan dengan Dera terputus, rasanya sangat hampa. Seli menatap pojok ruangan, satu-satunya bagian yang terkena sinar remang-remang lampu jalan di luar sana.

Dia menatap ke arah jendela, terlihat rumah-rumah tetangga yang terang. Siluet orang tua dan anak mereka sedang duduk di meja makan sambil menyantap makan malam.

Seli menghela napas. Melirik ke arah ayam geprek yang baru diantar oleh grab beberapa menit lalu. Tiba-tiba perutnya melilit, dia tidak punya selera makan.

Agar listrik di rumah ini kembali hidup, Seli harus lebih dulu membayar tagihan. Seperti yang Seli bilang tadi, dia masih punya harta peninggalan tak seberapa dari kakek dan neneknya. Namun jika dia gunakan uang itu untuk membayar listrik, tabungannya untuk kuliah akan berkurang. Belum lagi dia harus beli sice baru agar dia punya akses legal ke sekolah.

Tentu saja ada jalan ninja yang sudah Seli pikiran sejak tadi. Dia agak ragu melakukannya, tapi akhirnya dia memutuskan untuk menghubungi nomor yang sudah dia siapkan di layar sejak tadi.

Panggilan tersambung. Terdengar helaan napas bahagia dari ujung sana. "Halo. Apa kabar, sayang? Mama baru aja mau tel-"

"Gue butuh uang," sela Seli sebelum Maya menyelesaikan kalimatnya.

Ucapan terus terang Seli membuat Maya terdiam beberapa detik. "Uang? Oke, mama akan kirim."

"Tujuh juta."

Hening lagi.

Seli tau apa yang sedang Maya pikirkan dan bagaimana ekspresinya ketika mendengar nominal yang diucapkan Seli.

"Mama nggak punya pegangan sebanyak itu, tapi mama bisa kasih setengahnya," jelas Maya dengan nada lebih rendah.

"Oke, nanti gue minta ke Akbar."

"Seli!" tegur sang Mama. "Panggil ayah kamu dengan sebutan yang lebih pantas."

"Gue tunggu transferannya besok."

Seli mematikan panggilan. Dia menghirup napas dalam-dalam untuk mengisi paru-parunya yang memanas. Kenyataan bahwa mamanya sudah punya keluarga baru membuat Seli tidak bisa bernapas dengan normal.

Setelah merasa lebih baik, Seli menghubungi nomor lain. Kali ini ada tulisan Papa di atas barisan nomornya.

"Halo, Seli," sapa Akbar dengan nada terengah. Bahkan dari suaranya sudah terdengar bahwa dia adalah orang paling kesepian di dunia ini.

"Gue butuh uang."

"Iya, Papa kirim besok."

"Beneran?"

"Asalkan jangan minta sama mama kamu. Kasihan dia, mungkin nggak ada uang," jelas Akbar.

"Kalau lo kasihan sama Mama, kenapa kalian nggak rujuk lagi aja? Kalian tau nggak, gue diusir dari asrama, gue di rumah sendirian. Dan sekarang listrik mati karena belum bayar tagihan. Kalian tega sama gue."

"Seli, kamu tau ini demi kebaikan kamu," sahut sang papa, tak sesuai dengan keinginan Seli.

Gadis itu menyeringai bosan dengan jawaban papanya. Dia lelah mencari cara agar mereka kembali bersama seperti dulu.

Ketika panggilan terputus karena ponsel Seli kehabisan daya, Seli justru merasa bersyukur, dia sudah muak mendengar bagaimana papanya menenangkannya.

Siapa sangka gadis bar-bar yang pernah menjual bocoran kunci jawaban untuk mencari uang ternyata punya latar belakang menyedihkan. Seli dibuat pasrah oleh kedua orang tuanya. Tapi dia tidak akan pernah pasrah. Masih ada satu kesempatan yang sempat dia pikirkan selama beberapa hari terakhir.

"Kalau gue menang di The Golden Student, gue akan dapat uang, gue juga bisa kuliah gratis," pikir Seli. Duduk di atas kamar tidur bercahayakan sinar rembulan yang menyorot dari jendela.

"Tapi Raka sama Denis pasti ikutan juga. Gimana gue bisa ngalahin mereka?" Terdengar mustahil untuk gadis yang tak suka belajar sepertinya.


Raka dan Denis baru saja keluar dari ruang ganti. Mengenakan seragam basket Triptha, mereka pergi ke gymnasium untuk menghadiri pertemuan klub karena ada pemilihan ketua baru.

Setelah primadona basket Triptha, Farel, lulus semester lalu, ketua baru masih belum ditentukan padahal pertandingan akan diadakan semester depan.

"Lo aja kali, Ka," kata Denis sambil berjalan santai di koridor.

"Nggak," sahut Raka singkat.

"Farel pernah bilang lo yang akan jadi penerus dia jadi ketua karena lo cocok. Lo juga dulu setuju-setuju aja."

"Dulu, Den," tegas Raka. "Sekarang nggak lagi."

Denis tidak ingin memaksa. Dia tau Raka yang sekarang, yang jauh berubah dari Raka yang dulu semenjak ibunya tiada. Namun entah kenapa Denis justru bersyukur. Karena Raka terjebak dalam kesedihan, Denis punya celah untuk mengalahkan Raka.

Bukan berniat untuk mengalahkan Raka, Denis hanya memanfaatkan kesempatan yang Raka berikan. Setelah sekian lama berharap, Denis mendapatkan peringkat pertama ketika mereka naik kelas dua belas, nilai-nilai ulangan Raka masih setinggi dulu, tapi dia tidak terlalu aktif dan para guru mulai berpihak kepada Denis.

Denis sudah tidak sabar mendengar bahwa Raka tidak akan ikut The Golden Student. Dengan begitu, saingannya akan berkurang.

Saat itu, Seli terlihat berjalan terburu-buru menyusuri koridor.

"Sel, mau kemana lo?" tanya Denis. Raka lebih heran karena Seli sendirian padahal biasanya dia bersama Dera.

"Eh, mau buat sice baru," sahut Seli ragu-ragu.

Denis dan Raka bertukar pandang kebingungan. "Buat sice di ruang TU. Lo nggak kesasar, kan?" Denis menunjuk koridor di belakang Seli. "Ruang TU di sana, kenapa lo ke sini?"

Seli menggeram gemas. "Gue mau cari petugas TU di ruang guru," tegasnya dengan menekankan setiap kata kepada Denis. Sebelum lawan bicaranya itu sempat manyahut, Seli buru-buru pergi dari sana.

Denis menatap curiga kepergian Seli. "Kok gue curiga sama si Seli ya, Ka."

The Golden StudentWhere stories live. Discover now