Wattpad Original
There are 9 more free parts

MDH - Chapter 3

622K 27.7K 169
                                    

Setelah ku tahu bahwa Raga tidak akan kembali. Aku bergegas melangkah ke arah kamar. Dia bisa meninggalkan pengantinnya di hari pertama kami dan memilih pergi dari rumah ini, tak ada yang bisa aku lakukan disini, dan itu akan sangat membosankan. Seharusnya hari ini adalah hari paling indah dalam hidupku, karena aku akan memulai pagi ini dengan suami yang aku cintai. Tapi kenyataanya tak sama, aku menghabiskan waktu dimana aku sudah tak lajang lagi hanya seorang sendiri.

Dengan jalan gontai aku kembali ke dalam kamar. Rumah ini masih sangat asing bagiku. Ditambah dengan satu-satunya orang yang aku kenal pun berubah menjadi sangat asing di mataku sekarang.

Aku mengganti pakaianku, aku tak mau menghabiskan waktu yang membosankan ini di rumah sendirian. Aku mau menemui kedua sahabatku. Mungkin dengan aku berada disana aku akan sedikit melupakan kejadian tak mengenakan ini. Melupakan perubahan sikap Raga padaku.

Aku masuk ke dalam restauran yang belum ramai karena ini masih pagi. Raefan dan Marsya adalah sahabatku sejak lama. Awalnya aku tak tahu kalau mereka berdua mempunyai perasaan yang sama. Dan perasaan itu berkembang hingga saat ini. Bahkan kini dari perasaan itu menghasilkan buah hati mereka yang cantik, lucu dan menggemaskan. Setelah lulus kuliah mereka berdua mengambil keputusan untuk menikah. Hingga sekarang sudah punya putri yang berumur 2 tahun.

"Aunty?" ucap suara cempreng yang kukenal. Cila yang berada di pangkuan Maminya Marsya melambai-lambaikan tangannya ke arahku sambil memperhatikan giginya yang baru tumbuh beberapa.

Aku tersenyum lebar berjalan ke arahnya. Marsya menoleh ke arahku dan tampak terkejut melihat kedatanganku.

"Kau disini?" Ucap Marsya bingung.

Aku mengambil alih Cila ke pangkuanku. Anak cerewet itu langsung melingkarkan tangannya pada leherku. Marsya maupun Raefan kadang bingung. Anaknya lebih dekat denganku daripada dengan mereka orangtuanya.

"Halo, Sayang," kataku sambil mencium pipi tembemnya.

"Jawab pertanyaan ku. Kenapa ada disini? Suami mu mana?" Wanita itu melipat kedua tangannya di dada. Matanya berputar mencari sosok suamiku.

"Aku bosan di rumah," jawabku sekenanya.

"Apa? Bosan!" pekiknya. "Mana mungkin pengantin baru merasa bosan. Jangan becanda, Mel!"

"Ya, kalau saja aku menghabiskan waktuku bersama nya."

"Memangnya suamimu kemana?" Marsya duduk di sebrang ku dan menatap menyelidik.

"Bisa kita bahas yang lain saja?"

Marsya menyipitkan matanya menatapku, "Kau ada masalah?" ucapnya sambil menggeser kursi yang dia duduki ke arahku.

Aku menghembuskan napas ku dengan lelah. "Entahlah, aku merasa ada yang aneh dengan sikapnya semalam dan tadi pagi. Dia tidak seperti pria yang aku kenal."

"Mungkin dia kelelahan."

"Aku juga berharap seperti itu."

"Oke! Lalu bagaimana malam pertama kalian, hum? Dia hebat?"

Malam pertama? Semua pasangan pengantin pasti akan mengalaminya. Tapi beda denganku, malam pertamaku berkesan buruk. Sangat buruk. Bayangan kejadian semalam terlintas dalam benak ku.

"Kita tidak melakukannya."

"Kau serius? Ah, mungkin dia benar-benar kelelahan. Atau dia ingin malam pertamanya ketika kalian pergi honeymoon nanti."

Aku hanya mengangguk sebagai respon. Pergi bulan madu belum pernah terpikirkan olehku. Lagipula Raga tidak pernah membahasnya. Jadi, aku tidak tahu apa kita akan pergi untuk berbulan madu atau tidak.

Percakapan kami pun berakhir panjang lebar. Aku menceritakan semuanya. Entah, aku sendiri bingung kenapa Raga bisa seperti itu. Tapi, Marsya yakin kalau Raga akan memberikan kejutan untukku. Mungkin liburan keluar negeri berdua untuk bulan madu kami. Tapi, ah entahlah.

Tak terasa waktu berjalan dengan cepat. Hari sudah beranjak sore dan aku masih di restauran milik kedua sahabatku itu. Sudah tak terhitung aku melihat ponselku tapi tak ada satupun pesan dari Raga.

Sedang apa sebenarnya dia? Dan dimana? Sampai-sampai tak sempat hanya untuk memberi kabar.

"Melody?" seru seseorang. Aku mendongak dan melihat ke arah suara, dan mataku menyipit ketika aku mendapati seseorang yang aku kenal sedang menatapku dengan senyum lebar di bibirnya.

"Ian?" Aku terkejut atas apa yang aku lihat.

Aku sudah lama sekali tak melihatnya. Ian adalah teman kecilku, sahabat yang sudah ku anggap sebagai kakak-ku sendiri. Tapi, ketika di sekolah menengah pertama dia ikut orangtuanya keluar negeri atas tuntutan pekerjaan orangtuanya.

Aku bangkit dari kursi dan langsung menghambur memeluknya. Ini benar-benar refleks. "Oh my god! Aku tidak percaya kau ada di sini!"

Ian membalas pelukanku.

"Ehem..." aku melepaskan pelukanku ketika Marsya menginterupsi.

"Sya! Kenalkan dia temanku!"

"Hai!" Setelah perkenalan singkat antara Marsya dan Ian. Marsya pergi untuk menidurkan Cila yang sudah terlelap sejak tadi, dan aku melanjutkan reuni kecilku dengan Ian.

Karna kami sudah lama tidak bertemu, banyak hal yang kami obrolkan. Ian yang sekarang sudah tumbuh menjadi pria dewasa dengan sejuta pesona. Wajahnya yang tampan, kini terlihat lebih tampan lagi. Terbukti dari beberapa wanita yang berada di restauran ini tampak tidak mengalihkan perhatiannya dari pria di hadapanku ini. Ian tidak banyak berubah, dia hanya terlihat lebih dewasa. Itu mengapa aku bisa langsung mengenalinya, bahkan ketika aku tidak melihatnya dalam jangka waktu yang lama.

Jujur, dulu aku sempat menyukainya. Dia tidak hanya tampan, tapi juga baik hati-satu lagi yang tidak berubah. Ian adalah cinta pertamaku. Karena aku tipe orang yang tidak mudah bergaul. Aku tidak punya teman dekat ketika kami satu sekolah dulu. Bukan karena teman-teman ku tidak mau berdekatan denganku. Tapi, aku termasuk orang yang pilih-pilih dalam bergaul. Jadi, hanya Ian lah yang berhasil menjadi temanku.

Kami asik mengobrol hingga lupa waktu. Kalau bukan Marsya yang mengingatkanku tentang pulang dan tentang Raga. Mungkin aku akan lebih lama lagi mengobrol disini.

"Aku antar kau pulang," ucapnya.

Aku mendongak dan tersenyum. "Oke!" Tidak ada salahnya menerima tawarannya bukan.

Karena aku tinggal di rumah Raga, aku tidak memakai mobilku. Juga aku tidak berani memakai barang-barangnya. Ya, meskipun sekarang dia sudah menjadi suamiku. Tapi, ada perasaan tidak nyaman jika aku memakai barang miliknya tanpa ijin terlebih dahulu. Di tambah dengan sikap dingin Raga yang tiba-tiba membuat aku semakin bertingkah hati-hati.

Sepanjang perjalan kami dipenuhi dengan obrolan, tak jarang juga aku tertawa karena tingkah konyolnya.

"Thank you. Aku tidak bisa menawarkan kau untuk mampir. Sorry," kataku saat kami sudah sampai.

"Ya, it's okay! Lagipula ini sudah malam."

"Baik, berhati-hatilah!" Aku melambaikan tanganku ke arah mobilnya yang menjauh.

Setelahnya aku masuk ke dalam rumah. Pikiranku kembali fokus pada satu permasalahan. Raga. Apa pria itu sudah pulang. Aku melihat jam di tanganku, ini sudah pukul 8 malam. Biasanya pria itu pulang kantor saat sore, tapi kemana dia hari ini?

Sambil melangkah masuk ke dalam rumah aku merogoh tasku mencari ponsel milikku. Tak ada satu pesan atau panggilan dari Raga. Sebenarnya ia kemana? Seharian ini tak memberiku kabar sama sekali. Apa salahku sebenarnya?

Aku menyimpan kembali ponselku dan melanjutkan langkahku masuk ke dalam rumah. Di dalam tampak gelap karna lampunya padam. Aku berhenti sejenak di ambang pintu melihat keadaan sekitar. Hingga tiba-tiba ruangan yang gelap ini berubah menjadi terang dan pria itu berdiri disana menatapku tajam, seakan-akan ingin membunuhku dengan tangannya yang di lipat di dada.

Mati aku!

***

My Devil HusbandWhere stories live. Discover now