II: Grim

412 39 2
                                    

"SERANGAN!! SERANGAN!!"

Dari arah utara tempat Oliver dan Alice berpijak, wujud menjulang Dialos menyembul ke permukaan.

. . .

Tak butuh sepuluh detik, suasana pusat perbelanjaan kota Lucfia pun dipenuhi dengan teriakan orang-orang yang berlarian, berusaha kabur untuk menyelamatkan diri mereka, termasuk para pedagang yang tak sempat merapikan barang dagangannya. Tak ada waktu untuk itu.

Sementara itu, tak jauh beberapa kilometer dari sosok Dialos tersebut, anak kembar Oliver Alistair dan Alice Alistair masih tetap bergeming di tempat mereka, saraf-saraf dalam kaki kecil mereka seolah berhenti bekerja, membeku.

"Ooooooorgh...!"

Suara meraung tersebut tak lain datang dari Dialos yang berada tak jauh dari Oliver dan Alice. Sosok jelek dan mengerikan berwujud bola besar menjulang yang elastis itu didominasi oleh warna hitam. Yang paling mencolok adalah dua pasang mata berwarna kuningnya yang tajam menusuk.

Keringat dingin mengucur dari pelipis Oliver. Aku belum ingin mati.

Dengan gesit, Oliver menarik tangan Alice. Mereka berlari.

. . .

Menerobos keramaian orang-orang yang berlarian ke sana dan ke sini, mereka terus berlari. Terus, terus, terus, tak peduli dengan arah.

Kendatipun demikian, secepat apapun mereka berlari, suara hentakan yang besar serta bunyi bising raungan amarah dari Dialos tersebut tetap terdengar, bersamaan dengan deru langkah dan jerit takut orang-orang di sekeliling yang menulikan telinga Oliver dan Alice.

Yang dapat mereka dengar hanyalah degup jantung masing-masing yang bergemuruh keras dalam tiap-tiap tulang rusuk mereka.

Saat bola mata Alice menangkap sebuah tempat yang mempunyai potensi sebagai tempat bersembunyi – sebuah gang kecil yang dihimpit oleh dua toko, ia mempererat genggamannya dan balik menarik tangan Oliver.

"Eh?! Alice?!" Oliver terlihat panik saat Alice balik menarik tangannya. Raut wajah anak lelaki itu seperti orang yang sedang sakit, keringat dingin yang mengucur seakan membuat tubuhnya sekaligus sangat dingin.

"Liv, kita sembunyi di sana!" Alice memekik, memutar sepatu flatnya dan segera berlari menuju gang kecil tersebut, yang diikuti oleh saudara kembarnya dengan terhuyung-huyung.

Oliver dan Alice berusaha menyembunyikan diri mereka di gang kecil yang gelap tersebut. Mereka menempelkan tubuh mereka yang kecil di dinding, seolah hal tersebut akan membuat eksistensi mereka setransparan udara.

Suara teriakan orang-orang, derap langkah orang-orang, suara bangunan yang runtuh, dan suara erangan Dialos. Semuanya masih terdengar jelas.

Seandainya ini semua hanya mimpi... Tentu akan lebih baik, bukan, jika semua ini hanya mimpi belaka? Seandainya, seandainya.

Manusia-manusia itu, mereka lupa bahwa kebebasan yang mereka raih hanyalah kebebasan semu semata. Saat sosok Dialos menampakkan diri mereka yang mengerikan di permukaan kota, realita bak langsung menampar keras pipi manusia-manusia itu. Merah. Nyeri.

Seandainya kenyataan tidak sekejam ini... tunggu dulu, tapi, kalau tidak kejam, tentu bukan kenyataan namanya. Bagaimana, kau setuju, 'kan?

"OOOOOOOooogh...!"

Suara erangan sang Dialos jelek tersebut kembali memenuhi telinga Oliver dan Alice, namun, ada yang sedikit berbeda, dan yang sedikit berbeda itu sebenarnya amat mengkhawatirkan: yaitu suara Dialos tersebut, kali ini terdengar lebih dekat dari sebelumnya.

The Wind Which Sings of FreedomTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang