IV: A Not-so Surprising Offer

435 40 5
                                    

"iv... Liv... Liv...!"

Iris fuchsia milik seorang anak lelaki dengan rambut merah muda persik terbuka, membelalak – tersadar akan suara yang memanggil namanya.

Dia segera bangkit, kedua matanya memperhatikan langit-langit atap rumahnya. Oh – dia di rumah. Kala ia merasakan bahwa ia berbaring di sesuatu yang empuk, anak lelaki itu menarik konklusi bahwa ia sedang berada di kamarnya – dan saat ini sedang berbaring di atas tempat tidur.

Matanya melirik ke arah jendela, dan yang tampak di luar adalah langit bergradasi oranye, menandakan bahwa sang matahari sudah siap untuk terlelap dan berganti posisi dengan sang rembulan.

Anak lelaki tersebut mendesah lelah. Dahinya berkeringat. Jantungnya berdegup begitu cepat dan keras, hingga dirinya sendiri dapat mendengar suara tersebut.

Anak lelaki bersurai merah persik itu membawa tangannya ke pelipisnya, memijitnya pelan. Kepalanya terasa amat sakit, seolah-olah apa yang ada di pikirannya berputar-putar.

"Liv...? Kau tidak apa-apa...?" Bunga berwarna merah yang terletak di atas kepala Alice bergerak menurun, seolah melayu – tetapi, sebenarnya, bunga tersebut tidak akan pernah layu.

Yang dipanggil – Oliver, ia menoleh ke sumber suara. Di sampingnya, adalah saudari kembarnya. Alice. Rambut merah mudanya kali ini terurai. Raut wajahnya menampakkan kekhawatiran yang sangat besar.

Sepasang manik fuchsia milik Oliver melembut menemukan sosok Alice di sampingnya. "Alice..." Lirih Oliver pelan, bibirnya membentuk sebuah senyum kelegaan. Hatinya kini terasa amat ringan dari beban – kecepatan detak jantungnya menurun, meskipun pening di kepalanya masih tetap bersikeras untuk tinggal.

"Liv..." Air mata tiba-tiba memenuhi pelupuk mata Alice. Bijih fuchsia Oliver membesar. Sebelum Oliver sempat bereaksi, Alice terlebih dahulu memeluk erat tubuh saudara kembarnya, menumpahkan air matanya di bahu sang adik. Tangisnya pecah.

Oliver tersentak, tubuh lelaki 13 tahun itu pasti sudah terjatuh di atas matras kasur jika tidak dapat menahan keseimbangannya. "A—Alice...?"

"Huwaaaaa! Liv... Liv...!"

Oliver tak tahu harus berbuat apa, lantaran selama ini, tak pernah sekali pun ia lihat Alice menangis sepahit ini. Terakhir kali Alice menangis, adalah saat umur mereka 9 tahun – tepatnya, saat Oliver dan Alice mengetahui bahwa orang tua yang mereka cintai telah meninggalkan dunia.

Hati Oliver menghasilkan rasa sakit yang luar biasa. Ia tak dapat terus-terusan menyaksikan saudari kembarnya menangis tersedu seperti ini. Tanpa anak lelaki itu sadari, air mata telah menggenangi permata fuchsia miliknya.

Tidak, tidak – dia, Oliver, tidak boleh menangis di saat seperti ini. Ia harus melakukan sesuatu yang dapat meredam tangisan Alice, bukan malah ikut menangis, walau hati tersakiti melihat sosok Alice yang saat ini begitu lemah di hadapannya. Alice adalah orang yang selalu dapat menenangkan Oliver di kala ia menangis. Kali ini, dialah yang akan menghentikan tangisan Alice.

"A—Alice... aku tidak apa-apa," suara Oliver bergetar. Tangan kecilnya meraih punggung Alice, mengelus lembut permukaan punggung saudari kembarnya itu, sembari menahan air matanya agar tidak tumpah. Ia tidak boleh menangis di saat seperti ini. Tidak, tidak boleh. Jika Oliver menangis, ia yakin, hal tersebut hanya akan membuat Alice menangis lebih dari ini.

"A—Aku... kukira... kukira kau tidak akan bangun lagi, Liv...!" Alice terisak, tangannya meremas punggung kemeja putih milik Oliver.

Oliver dapat merasakan bahunya yang dibalut kemeja putih basah oleh air mata Alice.

"Aku tidak apa-apa, Alice... sungguh," perlahan, Oliver melepaskan pelukannya, dan Alice tampak pasrah.

Alice berusaha untuk mengontrol tangisannya, meskipun ia masih terisak. Pipinya dihiasi oleh titik-titik air mata yang menemukan jalannya di sana.

The Wind Which Sings of FreedomTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang