V: Welcome to Slait

360 34 2
                                    

Kala Oliver membuka matanya, hari sudah menjelang malam. Ia tidak tahu mengapa bisa menyimpulkan bahwa malam akan segera tiba – perasaannya berkata demikian.

Oliver menggelengkan kepalanya perlahan. Sakit kepalanya telah sirna, pikirannya yang tadi berkecamuk kini kembali tenang. Ia menghela napas lega. Meski dalam tidurnya Oliver sempat dikunjungi oleh mimpi buruk, setidaknya sekarang dia sudah bangun – dan tidak ada mimpi buruk lagi yang dapat menggapainya.

"Mimpi buruk... lelaki berambut salju... uh. Aku tidak mau memikirkannya..." ujar Oliver pada dirinya sendiri. Mimpi buruk hanyalah sesuatu yang kadang terjadi padanya. Benar. Tidak perlu terlalu dipikirkan. Hanya mimpi buruk biasa.

Bijih permata milik Oliver melirik meja kecil di samping tempat tidur kabin. Botol minum dan sebungkus roti masih seperti sejak Alice meletakkannya di sana, tidak tersentuh sama sekali.

Bicara soal Alice, di mana saudari kembarnya itu? Oliver memang menyuruhnya untuk ke luar sebab dia tidak mau Alice melihatnya dalam kondisi seperti itu, tetapi, kini malah dirinya sendiri yang mencemaskan Alice.

Oliver baru saja menapakkan kakinya di lantai kabin yang dingin, hendak pergi ke luar – tetapi perutnya memberontak. "Ah... benar juga. Aku belum makan apa pun sejak tadi pagi..." Gumamnya sembari melirik sebungkus roti dan sebuah botol berisi air mineral yang ditinggalkan Alice untuknya.

Oliver kemudian meraih roti yang ditinggalkan Alice, dan melahapnya. Ia sesekali meneguk botol minumnya di sela makan. Sesi makan itu sama sekali tidak berlangsung lama. Roti itu sama sekali tidak membuat perutnya kenyang, tetapi untuk saat ini, biarkan Oliver mengabaikan perutnya yang membelasut minta makan.

Anak lelaki bersurai merah persik itu mengenakan jubah cokelat dan topinya kembali. Tasnya ia selempangkan kembali di bahu, lalu dia beranjak meninggalkan kabin tersebut.

Ketika Oliver sampai di atas kapal, ia baru menyadari bahwa kapal udara terlihat masih ramai oleh suara-suara senda gurau penumpang kapal. Ada yang sedang makan, ada yang sedang membaca buku bersampul aneh, ada pula yang sedang berkumpul entah membicarakan apa.

Oliver menyapu pandangannya di area sekitar, mencari helai rambut dengan corak merah muda yang berbeda dari orang-orang pada umumnya. Ah! Itu dia! Kedua bijih kristalnya menemukan saudari kembarnya tengah melamun memandang langit yang perlahan mulai berubah warna menjadi hitam.

"Alice!" Oliver berlari kecil ke arah Alice, buru-buru menghampiri kakak kembarnya.

Suara familier yang sampai di telinga Alice membuat gadis itu memutar kepalanya, mencari sumber suara. Raut wajahnya langsung berganti menjadi berseri-seri, serbuk bintang seolah terpatri di kedua permata ungu kemerahan Alice. Alice menunggu hingga Oliver berdiri di sampingnya. Gadis itu menatap adiknya penuh harap.

Oliver tersenyum maklum. Anak lelaki itu kemudian mengusap kepala Alice perlahan, sebagaimana yang disukai oleh Alice. Oliver terlalu mengerti kakak kembarnya tersebut, hingga tidak perlu kata untuk mengerti bahwa Alice menginginkan sesuatu – dalam kasus kali ini, Alice ingin Oliver mengelus kepalanya.

"Maaf, Alice, aku membuatmu khawatir lagi," kata Oliver, kepalanya tertunduk selagi satu tangan menggaruk pipinya yang tidak gatal. Oliver tidak terlalu menundukkan kepalanya sehingga Alice dapat melihat ekspresi seperti apa yang terukir di wajah adiknya itu – benar dugaannya, raut wajah Oliver pastilah memelas. "Alice, aku—"

Belum sempat Oliver menyelesaikan perkataannya, Alice menginterupsi terlebih dahulu, "Aah! Berhenti, Liv! Tidak usah membahas soal hal itu! Membicarakannya membuatku ingin menghembuskan api dari mulutku!"

Gadis berkuncir dua tersebut menutup kedua telinganya, sudah cukup dirinya dibuat jengkel oleh Oliver. Tidak perlu diingatkan lagi, bisa-bisa dia jadi jengkel kembali.

The Wind Which Sings of FreedomTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang