Melodies 12 : "Lights Out"

7.6K 905 39
                                    

"Saehayan dalbiccui mellodi eunmilhi junbihan nae dudeurim."
-The melody of the white moonlight, I've secretly prepared my heart pounding.-


"Maaf." Kata itu memang sepantasnya ia ucapkan. Aku masih diam menunduk tak membalas.

Lagi, aku bisa mendengar Dio menghela nafasnya. Kalau saja hujan tak turun dengan terburu-buru, mungkin dirinya masih memelukku di luar sana. Membiarkan semua orang menatap terkejut, bahkan diiringi suara klakson mobil karena dirinya menghentikan mobil secara tiba-tiba, meski itu sudah dipinggir jalan.

Mungkin karena aku melakukan hal yang sama seperti tiga tahun lalu hingga ia bisa mengingatku. Mungkin karena lagu itu ia kembali mengingatku. Mungkin karena aku yang sedang sibuk menatap jendela ia akhirnya mengingatku. Aku terlalu terkejut untuk mereka apa yang membuatnya bisa mengingatku. Terlalu tiba-tiba.

Sungguh aku tak tau harus mulai dari mana?

"Apa kau mau kopi?" pertanyaan bodoh itu membuatku terkekeh, namun ia berhasil membuatku menengok,  "Aku agak sedikit haus... mm.. dan dingin."

Entah hal itu membuatku sedikit tersenyum, "Biar aku yang belikan. Kau tunggu saja didalam."

Dio mengangguk, dan ia mengambil payung dibelakang kursinya kemudian memberikannya padaku.

Kami berhenti persis didepan sebuah kedai kopi, dan kedai itu tidak ramai sama sekali. Jadi aku bisa membelinya dengan cepat. Kami juga tak mungkin berjalan bersama dan masuk kedalam untuk membicarakan ini, itu hal ceroboh. Rasanya aku ingin memperlambat langkah kakiku, namun aku memutuskan untuk tidak melakukannya. 

Kakiku berjinjit menghindari genangan yang terbentuk di jalanan. Kemudian dari dalam mobil ia membuka kan pintunya, seraya ku berikan jinjingan berisi dua kopi hingga aku bisa menutup payung terlebih dulu. Harum hujan yang menyentuh tanah berhamburan masuk ke dalam mobil bersamaan dengan harum kopi.

Ia meneguk kopinya beberapa kali, "Apa kau mengingatku?"

Aku harus menjawabnya bagaimana? Aku memegangi gelas kopi hangatku dengan gundah. Dan aku memutuskan untuk mengangguk sebagai jawaban terbaik.

"Kenapa kau tak bilang bahwa kau Melodi?"

Aku terkekeh mendengarnya, kemudian menoleh menatap wajahnya yang sedang mengarah padaku itu.

"Bahkan sejak pertemuan pertama setelah sekian lamanya, aku mencoba mengingatkamu."

Benar, saat itu diruang musik aku terus saja bertanya apa dia mengenalku? Dan dengan cepatnya ia menjawab tidak, bahkan tak berusaha mengingat sedikitpun.

"Dan kini aku mengingatmu," ia kembali menghela nafasnya berat, "bisakah kita memulai semuanya kembali?"

"Apa yang perlu kita mulai? Dan apa yang harus kembali?"

"Malam itu, saat kalian merayakan ulang tahunku. Tau kah kau apa permohonanku?"  aku menggeleng, "Bersamamu."

Aku segera menoleh menatapnya heran.

"Aku berdoa untuk dapat bersama dengan Melodi." Dio mengeraskan genggaman tangannya pada minuman yang ia pegang, aku bisa melihatnya dengan jelas. "Maafkan aku. Aku sungguh menyesal."

"Itu bukan aku." Jawabku segera, "Kita sudah berjalan terlalu jauh, dan untuk kembali? Itu sangat sulit. Untuk apa kembali jika jalan didepan sudah sangat dekat? Aku tak menyesal kau tak mengingatku, sungguh. Dan aku tak akan marah kau baru mengingatku. Tapi kau dan aku tau, untuk berjalan kembali, akan ada orang yang tersakiti, dan aku tak akan pernah mau menyakiti siapapun."

Aku kembali membuang wajahku, menatap langit malam yang sepi dari kaca jendela, menerawang bagaimana bisa setelah sejauh ini aku harus memulainya dari awal? Aku sedih? Atau bahagia? Aku tak tau yang mana yang harus dipilih.

Namun benar, semuanya telah jauh. Sangat jauh. Aku menyadari, bahwa kau memang selalu ada dihatiku, namun sebatas seseorang yang sangat aku kagumi, dan sedikit rasa mencintai yang perlahan dari dulu ada, namun tak pernah nyata.

Namun itu sebelum ada seseorang yang menemani lembaran gelapku, menemani hatiku yang sakit dan rapuh. Sekarang, ada seseorang yang siap menghiasi hariku.

Bagiku, kau adalah ilusi, sesuatu yang tak akan pernah aku capai. Dan kini, lihatlah ada seseorang yang menawarkan diri menjadi sebuah kenyataan dalam hidupku dan aku tau itu bukan kau tapi Kim sunbae, Kim Yeol adalah sebuah realisasi. Dan aku sudah terbiasa dengan fakta itu.

"Kenapa semua orang dalam hidupku pergi?"

"Kenapa semua orang dalam hidupku pergi?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Apa?" tanyaku.

"Semua orang akan pergi ketika menemukan cintanya, tanpa tau ada yang tersakiti lebih dalam. Perceraian, kekalahan, kehilangan. Apa aku memang harus menerima semuanya?" ia tersenyum getir menatapku.  "Apa aku terlihat bukan siapa-siapa lagi untukmu?"

"Kau tau sendiri, bahwa aku tak bisa melepas seseorang yang sudah terlanjur mengikatku sangat kencang. Dan kau juga tau, ada seseorang yang ingin sekali bersamamu. Dan ia sangat mencintaimu."

Dio membesarkan kedua matanya. "Tapi aku tak mencintainya. Aku mengira bahwa dia adalah kau!"

"Lantas kenapa bisa selama ini? Kenapa sangat lama membuatmu mengingatku? Jika kau benar-benar menyukaiku saat itu, kau... seharusnya... seharusnya kau mengenaliku saat kita bertemu kembali." Aku menekan keningku dengan kesal, kedua mataku perih.

"Aku memang tak mengenalmu, namun perasaanku tidak. Aku jatuh cinta pada suaramu, aku sudah jatuh cinta saat itu juga, lagi dipertemuan kita selanjutnya, tapi aku tak bisa. Saat itu aku tau ada orang lain sedang mengisi hariku. Lantas aku harus apa? Aku selalu berpikir kau Melodi yang aku cari, namun kenyataannya aku sudah memiliki Melodi yang datang menemani hariku." Ia mengacak rambutnya tak kalah kesal.

"Itu sebabnya kau membenciku?" tanyaku. Ia mengangguk pelan, membuatku menghela nafas panjang, "Lalu apa bedanya dengan sekarang? Bukankah sama saja? Sudah ada yang mengisi harimu, terlebih aku juga."

"Berbeda. Karena aku sudah tau kau yang seharusnya berada diposisi itu bukan dia. Kau yang seharusnya ada disini!" Ia menunjuk hatinya.

Aku membuang wajahku lagi, "Ayo kita pulang, ada seseorang yang sudah menungguku, dan juga... menunggumu."

Aku tak bisa membalas tatapan pria disampingku, tak bisa. Bahkan bernapas pun terasa sulit. Saat aku berlinang air mata. Ini semua sudah terlambat. Ini sudah tidak bisa diperbaiki.

Biar, biar saja ia mengetahui kebenarannya. Karena toh bukan aku yang memberitaunya. Apapun alasannya, aku tak bisa kembali. Begitu juga denganmu. Yang aku tau pasti adalah jalan kita sudah bercabang dan tak kan pernah searah.

Jadi sekuat apapun kau mencoba menyatukannya. Ini tak akan berhasil. Biar malam ini semua berakhir. Karena pagi akan tiba, aku berharap pagi akan membuat kita melupakan semua ini.

Aku ingin bulan mematikan sinarnya sebentar saja. Aku ingin semua lampu mati, agar aku bisa menangis tanpa seorangpun melihat. Aku ingin gelap, sebelum cahaya besok datang. Aku ingin sunyi. Aku tak ingin bersama dengan pria disampingku ini.

Tanganku bergetar hebat. Dadaku bergemuruh. Aku mengigit bibirku kencang, seraya menahan air mata jatuh lebih banyak lagi.

Ayo pergi. Jangan bicara lagi, karena aku tak akan sanggup menahannya.


**To Be Continue**

MelodiesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang