2nd File

67.5K 5.6K 501
                                    

Salah satu rutinitas Ryan yang jarang ia lewatkan—tidak peduli jika ia sedang di SG, di KL, ataupun di Indonesia—setiap weekend pagi, tidak lain dan tidak bukan, adalah berolahraga. Well, okay bukan sekedar weekend sih, bahkan di weekdays pun kalau kebetulan ia punya waktu luang setelah jam kantor, biasanya ia akan mengunjungi tempat fitness kantor atau apartmentnya. Dari yang biasanya ia hanya cardio atau marathon—kadang juga basket kalau lagi ada temen mainnya—belakangan ini ditambah dengan cycling. Thanks to salah satu sahabatnya yang berhasil menyebarkan 'racun' tentang betapa menyenangkan bersepeda berpuluh-puluh hingga ratusan kilometer. Now he's addicted.

Seperti Minggu pagi ini, ketika ia dan Radit tengah duduk manis di Cyclo setelah tiga jam lebih bersepeda mengitari sebagian kawasan Jakarta Selatan dan Pusat. Sebenarnya kalau urusan sport freak, masih ada tiga orang lagi yang sealiran dengan mereka. Sayang, timing-nya lagi nggak pas sehingga ketiga lainnya sedang nggak di Jakarta.

Yep, when Ryan said five, it means Radit, Alex, Devan, Randy, dan dirinya sendiri. Lima orang—yang pernah Radit sebutkan sebelumnya—senasib sepenanggungan karena sama-sama berasal dari Indonesia dan bergabung di GMG Singapore dalam kurun waktu yang berdekatan. Dengan dua orang yang spesialisasi di Financial and Regulation Risk Advisory, which is Radit and himself, one in Technology Advisory, which is Devan, and the rest are auditors.

"Olahraga dimana lo kemarin?" tanya Ryan sembari memesan Cold Brew Black Coffee untuknya. Sementara Radit memesan Ice Black Coffee dengan selera yang sama. Less sugar. Double shots.

Radit bersandar di kursi sambil melepas earbuds dari telinganya. "GBK."

"GBK doang? Gak lanjut olahraga lain dimana gitu..."

Radit menyipitkan matanya. "Gimana?"

Ryan terkekeh pelan. "Lo mainnya hati-hati banget sama anak satu-satunya Pak Candra Hadiningrat."

"Sejak kapan lo nyadar kalau dia anaknya Pak Candra?"

"Yang kepo setelah meeting pertama bukan cuma lo kali..." ujar Ryan. "Bedanya tapi gue kepo ke beberapa orang sedangkan lo keponya cuma ke satu doang."

"Dan berdasarkan kekepoan lo itu jadinya lo berhasil ngajak ngedate sekali—oh nggak, berkali-kali—anaknya Pak Harry?"

Ryan meraih minumannya yang baru saja diantarkan. "Jangan terlalu sering jadiin gue dan Fanny topik pembicaraan lo kalau lagi sama Alya. Coba lo cari topik lain kayak... kalian nikahnya mau dimana, mau punya anak bera—"

"Woi!"

Ryan lagi-lagi tertawa melihat ekspresi sahabatnya. "Katanya lo serius sama dia..."

"Ya bukan langsung serius yang kayak gitu juga, Onta!"

"Ya mana gue tau..." ucap Ryan memasang tampak sok innocent. "Udah ketemu Pak Candra?"

"Yakali gue ke rumahnya secepat itu," Radit menggeleng-geleng. "Gue kali yang harus nanya kayak gitu ke lo."

"Lha kenapa malah gue?"

Salah satu kening Radit terangkat, diikuti dengan cengiran di wajahnya. "Kayak gue nggak tau aja, Yan. Yang kenal duluan emang gue sama Alya, tapi yang progressnya lebih jauh kelihatannya lo sama Fanny."

"Makan bareng itu bukan progress, Praditya Nugraha. What we've done are just casual lunch and dinner. Dan jangan berpikir yang gue jalanin sama Fanny itu sama intensinya dengan yang lo jalanin dengan Alya sekarang."

"Yeah. Both of you do casual lunch or dinner everyday."

"Belajar nyelip-nyelipin nada sarkas darimana lo? Oh, no need to answer. Nowadays everything about you is absolutely related to woman named Alyanata."

Requisition (PUBLISHED)Where stories live. Discover now