4th File

44.2K 5.2K 550
                                    

Fanny menatap pria di hadapannya selama beberapa saat—atau setelah ia pulih dari rasa terkejut melihat betapa blak-blakannya seorang Ryan. Jujur saja, belum pernah ia menemukan pria se-straightforward ini bahkan dalam urusan menyebut nama 'pesaingnya' secara terang-terangan.

"Let me get this straight, Yan." Fanny akhirnya membuka mulut setelah sekian menit yang hanya diisi dengan mereka bertatapan satu sama lain. "Okay, I'll accept your invitation to come along. Tapi bukan berarti gue mengiyakan untuk statement lo yang kedua."

Ekspresi Ryan tetap terlihat santai dan tidak berubah sedikitpun. "Bagian yang mana?"

"Nggak semuanya bisa terjadi hanya dengan lo 'meminta', Arrayan. You exactly know what I mean."

"Kenapa? You're in love with him already?"

Fanny menghela napas pelan. "Bukan gitu maksud gue. It's just... Dia nunjukin dengan jelas intensi dia, Yan."

"So, menurut lo, gue nggak?"

"Nggak." Fanny menggeleng tanpa ragu. "Gue tau lo juga sadar kalau yang lo lakuin ini hanyalah sepersekian dari jurus-jurus womanizer yang lo terrapin juga ke orang lain. So, how could you expect me to consider you on top of the list, Yan? Sementara gue sendiri nggak tau posisi gue sendiri buat lo kayak gimana."

Ryan menarik minumannya mendekat dan mengaduknya—tanpa niat untuk meminumnya sama sekali. "I've told you, you caught my attention, Stephanie."

Fanny menyandarkan punggungnya di kursi sambil menatap Ryan lurus-lurus. "That's what I mean. Lo mau gue nge-consider lo di atas orang lain. But in your eyes, I'm no more than 'person who just caught your attention'. C'mon, sebelum kita berbicara terlalu jauh dan semakin ngelantur, lo pikir apa yang lo minta ini equal dengan apa yang di diri lo sendiri rasain? Gue tau lo sekarang bukan lagi ngajak nikah dan semacamnya, Yan. Gue juga sadar bahwa mungkin gue terlalu take too seriously urusan ini. But just so you know kalau yang lo minta tadi itu bukan hal kasual kayak biasanya."

Giliran Ryan yang menghela napas. Ia sendiri sebenarnya sadar seberapa egoisnya permintaannya tadi. But he just can't help it at all. "So if I say that I like you, will you consider my request then, Stephanie?"

"Actually you can say it right away kan? Dan gue juga bisa langsung nolak karena gue tau betapa kalimat lo gak ada sincerity-nya sama sekali, ditambah gue bukan lagi minta biar lo suka sama gue. Jadi sebenarnya esensinya bukan disana—gue yakin lo pun sadar. Tapi lagi-lagi, sebelum semua itu, jawaban gue tergantung dengan jawaban lo atas pertanyaan gue."

"What question?"

"Who's on your current list right now?"

Ryan terdiam mendengar pertanyaan Fanny sebelum akhirnya ekspresinya yang tadi serius kini kembali santai. "Okay, this will be a long talk. And I prefer to talk while holding a can of beer dibanding espresso kayak gini. Berhubung lo nerima ajakan gue untuk bareng ke Bali, let's talk later there. We have plenty of times, right?"

Fanny mau tidak mau tersenyum tipis menanggapi ucapan Ryan. "Deal." Ia mengangguk setuju. "Sepertinya jawaban lo emang gak se-simple yang gue kira. Well, can't wait to hear that."



¤ ¤ ¤


"Eh, eh kamu siapa?"

Ryan yang baru saja keluar dari mobilnya dan hendak melangkah masuk ke salah satu rumah berlantai tiga di bilangan Mont Kiara—Kuala Lumpur—reflek menghentikan langkahnya dan menoleh. Ia mendapati seorang pria paruh baya dengan garis-garis ketampanan yang masih terlihat jelas di wajahnya, tau-tau entah muncul darimana—karena Ryan tidak melihatnya tadi—berjalan menghampirinya.

Requisition (PUBLISHED)Where stories live. Discover now