5th File

48.5K 5.6K 901
                                    

disclaimer : double update for this week because I feel bad by leaving you guys for these last two weeks :( So, Happy Reading.



"Jadi ortu lo tinggalnya di KL?"

Ryan mengangguk sembari mereka mencetak boarding pass di self-ticketing machine terminal 3 bandara Soekarno-Hatta malam itu. Mereka memang memutuskan untuk berangkat di Jumat malam—meskipun itu artinya mereka akan sampai disana pukul dua belas malam, tapi Ryan dan Fanny punya prinsip yang sama bahwa it's better to take midnight flight dibanding earliest flight di hari sabtunya.

That's why they are here. Tepat ketika mereka sampai di gate, pengumuman boarding untuk penumpang business class pun menggema sehingga mereka langsung memasuki pesawat.

"Thanks," ucap Fanny ketika Ryan membiarkannya masuk dan duduk lebih dulu sementara pria itu menaruh koper mereka berdua di kabin sebelum ikut duduk di kursi samping Fanny. "Lo kalau naik pesawat nggak ada privilege-nya gitu? Secara bokap lo..."

"Beda company, Stephanie. Emang lo misalkan kalau beli semen di Holcim, bukan di perusahaan tempatnya bokap lo, bakalan dapat diskonan?" tanyanya dengan ekspresi lucu yang membuat Fanny tertawa. "Lagian satu-satunya privilege yang gue dapatkan di maskapai sana adalah pertanyaan 'is there anything else that we can help you, Sir?' Which I'm very sure lo juga tau bahwa sebenarnya kita nggak ada privilege khusus for having a father as Director, right?"

"Bokap gue masih SEVP, for your information."

"Soon to be Director, sih. Udah kenceng banget isunya. RUPS kan sebulan lagi."

Fanny menatap Ryan dengan takjub. "Mata dan telinga lo emang dimana-mana ya."

"Almost all of those companies pernah jadi client-nya GMG, Han. That explains why—"

"Wait, what did you just call me?" Fanny memotong ucapan Ryan dengan ekspresi bingung.

"Han."

"Sorry? Sejak kapan gue ganti nama?"

"Nggak ada yang ganti nama lo." Ryan memasang ekspresi santai. "Han from Step-han-ie. Though, I still prefer to address you fully as 'Stephanie'."

Fanny hanya menggeleng-geleng dan memilih tidak membahas lebih jauh. She just let him do what he wants to do. Dia tau sedikit banyak karakter Ryan. Once he made his mind about something, then that's it. Nggak usah capek-capek mendebatnya. He won't budge at all. Lagipula pria itu tidak melakukan hal-hal yang membuat Fanny merasa keberatan.

"Lo pernah bilang nyokap lo is a Dermatologist, right?" tanya Fanny menyambung kembali topik obrolan mereka yang sempat terputus. "I can imagine how flawless she is."

Ryan tertawa kecil. "Mama is so beautiful emang. I have to agree with that one."

"Darah Filipina lo dari nyokap kalau gitu? Gue udah sering liat Pak Wirasena Airlangga di majalah bisnis atau berita dan gue yakin darah Amrik dan Surabaya lo dari beliau. So, I assume nyokap lo yang punya keturunan Filipina."

Ryan tidak langsung menjawab karena obrolan mereka diinterupsi oleh pramugari yang menawarkan hot towel. Ia menerimanya sambil tersenyum—yang Fanny yakin kalau saja ia tidak duduk di samping Ryan, pramugari itu pasti akan—setidaknya—mencoba berkenalan dengan Ryan. Se-charming itu emang womanizer satu ini.

"My Philippines' blood is from my biological mother."

Gerakan Fanny yang tengah mengelap tangannya dengan hot towel seketika terhenti. Namun kontras dengan Ryan, pria itu justru hanya tersenyum santai.

Requisition (PUBLISHED)Where stories live. Discover now