Empat Belas

552 64 1
                                    

"Tanya aja lagi Ven kalau penasaran." sahut Edbert sambil makan sushi yang tersaji di depannya.

"Ga penting kok. Boleh minta bill ga?" sahut Venna beralih memanggil pelayan.

"Sudah dibayar kak sama masnya ini."

"Hah kapan kamu bayarnya Ed?"

"Tadi udah nitip kartu. Yuk." sahut Edbert sambil berdiri dan menuju meja kasir.

"Harusnya aku yang traktir. Kan aku yang ngerepotin." sahut Venna.

"Ga repot kok. Kan aku yang nawarin tadi. Gimana udah kenyang kan?"

"Kenyang banget sih ini. Beneran gapapa nih kamu nganterin aku?"

"Ya gapapa lah." sahut Edbert.

***
Di perjalanan keluar dari restoran, ada suasana keheningan yang dirasakan Edbert dan Venna. Lebih tepatnya kikuk akan siapa yang harus mulai pembicaraan terlebih dahulu.

"Kamu tadi penasaran soal Seraphine ya?" tanya Edbert tiba-tiba.

Venna pun tiba-tiba tersedak setelah mendengar kalimat yang dilontarkan Edbert.

"Minum dulu minum. " sahut Edbert sambil mengambilkan air di dekat pintunya.

Venna pun meminum air tersebut sambil menahan malu karena maksud hatinya sudah terbaca oleh Edbert.

"Aku sama Seraphine ga ada apa-apa kok. Kebetulan kita barengan aja temenannya pas kuliah. Ga lebih." sahut Edbert memberikan klarifikasi.

"Oh gitu. Yakin ga lebih? Seraphine cantik lho, pasti banyak yang naksir." sahut Venna.

"Ngga cuma teman aja."

"Semua juga berawal dari teman." sahut Venna.

"Tapi ga semua yang berawal dari teman terus harus suka kan?" sahut Edbert.

"Tapi kan lebih gampang suka kalau awalnya teman." sahut Venna.

"Ga juga tuh. Buktinya dulu kita?"

"Kita apa?" tanya Venna.

"Lupain aja, udah lama juga." sahut Edbert.

"Kita apa Ed?" tanya Venna kembali.

Flashback ke 12 tahun yang lalu.. di kelas XIIA3..

"Ven, kenapa sih kamu sekarang jadi dingin banget sama Edbert! Dulu aja kalian nempelnya kayak perangko pas kelas XI." sahut Chandra, teman sebangku Venna.

"Dia itu anaknya childish Chan! Aku ga bisa kalau harus manjain dia setiap waktu. Dia itu bener-bener butuh ditakecare setiap saat tahu ga sih." sahut Venna.

"Tapi kan siapa tahu dia gitu karena dia cari perhatian sama kamu?" sahut Chandra.

"Ga mungkin. Dia lho ga mungkin suka sama aku. Aku lho gendut, rambut juga masih ikal gini." sahut Venna.

"Tapi siapa tahu kan Edbert beneran suka sama kamu."

"Ga sih harusnya. Ga bisa, dia udah keterlaluan sih ini. Aku bisa stroke lama-lama kalau ngeladenin tingkah childishnya dia. Makanya meskipun aku sekarang tetap sekelas sama dia, aku ga bisa dekat sama dia. Terlalu capek aku ngeladenin dia terus." sahut Venna.

"Emang dia biasanya ngapain Ven?"

"Ya dikit-dikit dia telepon terus, padahal udah aku jelasin kan, terus kayak posesif kadang kalau aku ga balas sms nya atau aku ga angkat telepon. Aku capek lihat dia kayak gini." sahut Venna.

Tanpa Venna sadari, Edbert yang hendak menghampiri Venna dari arah belakang mendengar semua percakapan itu. Sejak saat itu, Edbert memutuskan untuk menjauhi Venna.

"Harusnya kamu yang lebih tahu Ven, bukan aku." sahut Edbert tiba-tiba berubah jadi dingin setelah mengingat memori itu.

"Tapi kamu yang menjauh duluan dari aku." sahut Venna menambahkan.

"Aku menjauh bukan karena aku yang mau."

"Jadi karena aku? Aku ga pernah meminta kamu untuk menjauhi aku." sahut Venna.

"Aku dengar yang kamu bicarain waktu itu sama Chandra." sahut Edbert.

"Tentang apa?" tanya Venna.

"Tentang kamu yang sudah ga kuat ngeladeni tingkah kekanak-kanakanku. Yang kamu udah benci sama kelakuanku." sahut Edbert dengan tegas.

"Kamu dengar? Tapi.. Tapi waktu itu aku ga tahu Ed!" sahut Venna.

"Ga tahu apa?"

"Aku ga tahu kalau kamu ngelakuin itu semua buat dekat sama aku. Dulu aku masih SMA Ed, aku gampang ilfeel dan aku juga ga peka. Kalau aku tahu, aku ga mungkin jadi jahat kayak gini." sahut Venna sambil menahan emosi.

Edbert pun langsung menepikan mobilnya di pinggir jalan depan komplek perumahan Venna.

"Ketika aku tahu yang sebenarnya, semuanya udah terlambat. Kamu sudah pergi sekolah bahasa di China dan aku ga tahu cara menghubungi kamu lagi! Kamu kira selama ini aku ga merasa bersalah?  Kamu kira aku ga menyesal ketika kamu menjauh dari kehidupanku? I always wish I can turn back to that time." sahut Venna.

Edbert pun hanya terdiam mendengarkan penuturan Venna. Selama ini dia selalu berpikir bahwa ini adalah keputusan yang tepat untuk menjauh dari Venna. Selama ini juga dia selalu berpikir bahwa mungkin dia yang salah. Tapi yang Edbert tidak tahu adalah kalau Venna merasa bersalah selama ini ke Edbert.

"Aku selalu berdoa seandainya aku bisa ketemu kamu lagi, entah berapa tahun kemudian, aku harus menjelaskan dan memperbaiki semuanya ke kamu. Tapi aku rasa, kamu sudah lebih bahagia sekarang Ed walau ga ada aku." sahut Venna.

"Aku bahagia ketika kamu sudah meraih cita-citamu tapi aku juga sedih ketika bukan aku yang ada waktu kamu meraihnya. Anyway, aku turun di sini aja." sahut Venna sambil membuka pintu mobil.

"Ven aku anterin ya, jangan turun di sini udah malam."

"Gapapa aku bisa jalan, udah dekat lagian. Thanks Ed. Aku minta maaf buat semuanya." sahut Venna.

Edbert pun hanya memandangi Venna yang sudah menjauhi pandangan Edbert.

I wish I never give up on you, Ven..

***

Chapter hari ini spesial ya guys, karena udah aku ceritakan sepenggal kisah mereka yang dulu. Author jd emosional juga... anyway!! Enjoy!!!

One Moment in TimeWhere stories live. Discover now