Part Sembilan

3.8K 713 132
                                    

Maafkan aku yang udah lama gak up:v ada sesuatu yang sulit untuk di jelaskan:) jadi nikmati aja ceritanya, aku udh berupaya bngt buat rajin up, tapi selalu bnyk bngt gangguanT_T

So, Happy Reading 🖤

William menghela napas panjang, sebelum meregangkan otot-otot tubuhnya. Ia beranjak berdiri, membersihkan dedaunan kering yang menempel di celana hitam yang ia kenakan.

Matanya terpejam sejenak, sebelum kembali terbuka dan menatap tajam hamparan pohon lebat di hadapannya.

Helaan napas kembali terhembus panjang. Kepalanya menengadah dan menatap bulan yang bersinar terang di gelapnya malam. Seperkian detik ia terbuai dengan indahnya angkasa yang memanjakan mata, ia membiarkan angin malam menerpa tubuh atletisnya yang tidak tertutup kain atau biasa di sebut Shirtless, sebelum perhatiannya teralih kembali.

William memungut jubah hitam yang terletak di tanah dan memakainya kembali. Suara kuda membuat ia menoleh dan mendapati kuda putihnya.

William tersenyum tipis sebelum mendekati kudanya, ia mengusap kepala kuda itu sebelum menungganginya. Matanya menatap ke arah rumput lagi yang terdapat sesuatu yang tergeletak berwarna abu-abu. Sangat kontras dengan warna rumput yang hijau segar.

Ia berubah lagi.

William menghela napas lagi. Tubuhnya terasa sangat lelah malam ini. Sepertinya selepas tiba di Istana, ia akan merendam diri dengan air hangat. Dan ah, William juga harus menemui seseorang untuk melepas penat tubuhnya.

"Sial! Aku merindukannya lagi. Umh... Seperti aku harus menemuinya besok," gumam William, tersenyum hangat saat bayangan wajah gadisnya terbayang di benak.

***

Li berdecak, menggerakkan tangan di depan mata yang perlahan mulai memanas dan mungkin siap mengeluarkan cairannya lagi.

Ia perlahan menarik napas dan menghembuskannya pelan. Begitu terus sampai Li mulai merasa jika dirinya baik-baik saja. Ternyata tidak! Usaha Li sia-sia lagi.

Cairan bening itu mengalir dan membasahi pipinya. Li berdecak kesal, menyeka air matanya dengan kasar dan mulai memfokuskan pandangan ke arah cermin.

Li mengamati penampilannya yang jauh dari kata baik-baik saja. Wajah sembab dan juga rambut acak-acakan.
Bibirnya bergerak dan mencetak senyum miris. Li menertawai dirinya sendiri.

"Sial! Rasanya sangat tidak enak," gumam Li, menyentuh dadanya yang terasa sakit. "Dia patah lagi, tapi tidak mengeluarkan darah," lanjutnya, menatap ke arah dada dari pantulan cermin.

"Kasihan sekali nasibku ini," monolog Li, bibirnya cemberut lucu. "Sebelum mengenal cinta aku masih polos dan menggemaskan. Namun setelah mengenalnya, malah jadi pria menyedihkan. Sudahlah, mau menangis saja ... Hiks ... Ibunda! Anakmu patah hati lagi ... Hiks ... Tolong hibur aku, aku patah hati lagi untuk yang kedua kalinya ...."

Li meraung. Menumpukan kedua tangan di dinding dan menangisi nasibnya yang kembali hancur karena sesuatu yang di sebut CINTA.

"Makannya, jangan jatuh cinta jika tak mau sakit. Namanya saja jatuh cinta, kata jatuh saja sudah menggambarkan jika siapa yang mengenal cinta harus menyiapkan diri untuk jatuh dan kau tahu sendiri jika jatuh itu rasanya sakit."

Ucapan seseorang itu membuat Li menoleh dan mendapati seorang pria tampan dengan rambut keriting berwarna cokelat keemasan. Itu Derral, dengan gaya rambut baru yang sudah jelas di dapat dari bantuan sihir Li.

"Mengapa kau bisa di sini?" heran Li, menyeka air mata lagi sebelum menghampiri Derral yang sudah duduk di kursi yang tersedia  di dalam kamarnya.

PRINCESS EVELINE: The Choice [Tamat]Where stories live. Discover now