4 - Bingung

21 0 0
                                    

Happy reading ....🤗

Matahari telah berganti peran dengan bulan, tetapi Arista masih setia terbaring di atas kasur tanpa ada niat untuk bangun meskipun dia masih memakai baju sekolahnya.

Tok-tok-tok!

Suara ketukan pintu membuat Arista sedikit terganggu. Namun, ia masih enggan untuk terbangun.

Clek!

Pintu terbuka dan tampaklah Dinda dengan membawa nampan yang isinya seperti biasa.

"Ya Allah, Aris. Ini udah malem dan kamu belum ganti seragam?" Dinda menyimpan nampan itu terlebih dahulu di atas meja belajar kemudian menghampiri anaknya dan duduk di tepi ranjang.

"Rista? Kamu tidur?" tanya Dinda seraya menepuk-nepuk punggung anaknya karena posisi gadis itu sedang tengkurap.

Tidak ada jawaban, tetapi Dinda mendengar isakan yang dipastikan itu suara dari Arista.

"Kamu nangis? Hei ... kenapa Sayang?" tanya Dinda khawatir.

Suara isakan Arista semakin terdengar jelas. Dinda semakin khawatir karena anaknya enggan bangun dan tidak menjawab pertanyaan nya.

"Arista! Jawab Ib—"

"Ibu!" seru Arista terbangun dan langsung memeluk erat tubuh Dinda. Gadis itu menangis dalam pelukan hangat ibunya.

Dinda langsung saja membalas pelukan anaknya dan mengusap punggung Arista untuk memberikan ketenangan karena tubuh gadis itu sangat bergetar hebat.

"Kamu kenapa, Ris? Kenapa nangis gini? Ada yang jahatin kamu, ya? Ayo, bilang sama Ibu."

Arista tidak menjawab. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Tidak mungkin jika dirinya berkata jujur, ibunya pasti akan marah karena dia menangis hanya karena seorang laki-laki.

Beberapa menit berlalu, tangisan Arista mulai mereda. Ia melepaskan pelukan tersebut. Gadis itu mengusap sisa air matanya.

Dinda memandang anaknya dengan banyak sekali pertanyaan. Ia baru melihat Arista yang menangis sehebat ini dan itu pun tanpa sebuah alasan yang jelas.

Arista menarik napasnya panjang. Ia akan berkata jujur kepada Dinda karena dia juga tidak pernah bisa berbohong kepada orang tuanya.

"Kak Ragna, Bu. Pulang sekolah dia bonceng cewek. Padahal sebelumnya dia bilang gak bisa anterin aku pulang karena harus pulang bareng temennya, tapi tadi dia bareng sama cewek." Arista kembali membayangkan kejadian tadi sore yang membuatnya sakit kembali ketika mengingatnya.

Dinda tidak mengerti dengan apa yang baru saja anaknya ucapkan. Ragna? Bonceng cewek? Pulang bareng? Apa maksudnya?

Seolah tahu jika Dinda kebingungan. Akhirnya, Arista kembali menjelaskan.

"Kak Ragna itu cowok yang aku suka sejak aku kelas 10, Bu. Aku suka banget sama dia gak tau kenapa. Kemarin malem aku minta bantu dia buat pulang bareng karena aku lagi gak ada yang bisa jemput, 'kan? Tapi, dia nolak karena katanya harus pulang sama temennya."

"Tapi ... tadi sore pas pulang sekolah, dia malah bareng cewek dan itu bikin aku sakit hati, Bu." Arista menunduk malu. Ia tidak peduli jika Dinda akan marah karena yang penting sekarang perasaannya sudah sedikit lega.

Dinda tersenyum. Tidak terasa, sekarang anak perempuannya sudah besar dan sudah merasakan rasanya jatuh cinta. Ia mengusap lembut kepala anaknya.

"Kamu ini bikin Ibu khawatir aja. Mungkin itu temennya, Ris. Positif thinking aja, 'kan?"

"Udah. Sekarang kamu mandi dan ganti baju setelah itu makan, jangan nangis lagi. Jangan bikin Ibu khawatir, ya?" lanjut Dinda kemudian bangkit dari duduknya dan pergi meninggalkan kamar Arista.

***

Arista masuk ke kelasnya dengan langkah gontai. Ia masih tidak bersemangat karena kejadian kemarin yang sampai sekarang masih terekam jelas dibayangan nya.

"Kenapa, tuh, mata. Maraton nonton drakor lo?" tanya Davita saat Arista duduk di depannya.

Arista tidak menjawab. Ia hanya diam kemudian menidurkan kepala nya di atas meja dengan berbantalkan tangan nya.

Zalika yang melihat Arista dengan penampilan seperti itu hanya bisa menghela napasnya. Ia tahu jika mata gadis itu bengkak seperti ini pasti karena menangis dan penyebabnya adalah kejadian kemarin waktu di lampu merah.

Davita yang melihat itu mengernyit bingung, kemudian memandang ke arah Zalika seolah bertanya ada apa?

Zalika segera membisikan sesuatu ke telinga temannya itu. Ia menjelaskan kejadian kemarin yang sudah pasti menyebabkan Arista seperti sekarang ini. Davita tidak tahu karena kemarin harus berpisah saat dalam perjalanan.

"Demi apa lo?" teriak Davita membuat semua orang yang ada di kelas menoleh ke arahnya.

Zalika segera menutup mulut temannya, menyuruh Davita untuk diam dan tidak teriak seperti tadi.

Davita menatap Zalika dan Arista secara bergantian. Ia tidak menyangka jika Ragna akan berbuat itu.

"Apa bener yang dikatakan Zalika, Ris?" tanya Davita memastikan.

Arista hanya mengangguk lemah. Matanya kembali memanas, itu adalah kenyataan yang sesungguhnya dan murni tidak bisa diganggu gugat.

"Emang gila, tuh, cowok. Gak mikirin perasaan Arista apa?" kesal Davita.

Hening untuk beberapa saat hingga akhirnya Zalika menyahut. "Tapi ... ini bukan salah Kak Ragna juga. Kita gak bisa menghakimi dia. Ya, karena Kak Ragna, kan, gak tahu kalo Arista suka sama dia."

Arista terdiam. Perkataan Zalika memang benar, ini memang salahnya yang tidak bisa mengontrol emosi. Ia tidak punya hak sama sekali untuk menangis ketika melihat Ragna saat bersama perempuan lain. Gadis itu bukan siapa pun dalam kehidupan Ragna.

"Lagian. Lo juga kenapa enggak confess aja, sih, Ris? Biar dia tahu perasaan lo sama dia kayak gimana," usul Davita. Ia sudah geram dengan drama percintaan dalam diam ini. Arista hanya menyiksa dirinya sendiri dengan berada di posisi seperti ini.

"Enggak segampang itu, Vit." Arista akhirnya angkat bicara.

"Gampang, kok. Lo tinggal bilang kalo lo suka sama dia, urusan dia bales apa enggak perasaan lo, itu urusan nanti. Karena yang penting perasaan lo lega dengan bilang jujur sama dia," jelas Davita panjang lebar.

Zalika yang mendengar itu menatap temannya tidak percaya. "Tumben lo bijak."

Davita memutar bola matanya malas. Mereka memang tidak pernah menyadari jika dirinya memang sebijak itu selama ini.

Arista diam mencoba untuk mencerna nasehat dari Davita tadi. Ia sedang berpikir apakah harus gadis itu mengikuti saran dari temannya.

Arista membuang napasnya panjang. Ia tidak pernah menyangka jika akan mengalami masalah cinta serumit ini. Gadis itu tidak takut akan penolakan Ragna, dia hanya takut akan kenyataan jika ternyata Ragna menyukai orang lain dan Arista belum siap dengan kenyataan itu.

Hallo, semuanya🥰

Gimana sama part ini? Suka engga?

Apa yang akan kalian lakuin kalo ada posisi Arista? Jujur atau tetep simpen perasaan itu karena takut nantinya akan semakin rumit.

Makasih buat yang udah mau baca❤️

Semoga kalian suka sama cerita kedua ku ini😍

Jangan lupa vote and coment guys:*
Thank you and see you next part...

❤️❤️❤️❤️

Tentang Kamu dan RasaWhere stories live. Discover now