01

14 7 0
                                    


Sudah satu bulan berjalan. Kini Davina mulai bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan kota, meski masih terkesan terlalu baku, namun setidaknya dia mulai bisa beradaptasi dengan orang-orang sekitar.

Masalah-masalah kecil ditempat kerjanya itu sudah menjadi hal yang tak asing baginya sekarang, ia juga mulai bekerja dengan lebih baik dari hari ke hari.

Malam ini Davina pulang sedikit terlambat, karena siang tadi dirinya masuk di-sift siang, tandanya ia juga harus ikut closing restoran.

Davina turun dari angkot, dan melanjutkan perjalanan menuju kosan dengan berjalan kaki.

"Mbak!" suara Barito mengejutkan Davina.

Ketika Davina merasa hanya ada dirinya disana, akhirnya ia menoleh dan menepuk dadanya lembut sebagai tanda apakah dirinya yang dimaksud oleh orang itu.

"Iya," laki-laki itu kemudian mendekati Davina, "Saya mau tanya, komplek anggrek putih, kalo jam segini portalnya udah ditutup ya?"

"Ah teryata orang itu mau bertanya, tapi aku harus tetap berjaga-jaga, barangkali ia memiliki niatan jahat."  Davina membatin.

"Kayanya udah deh, mas. Setau saya portal di komplek itu ditutup jam sebelas malam." jawab Davina.

"Yah, tapi saya bawa motor. Kalo parkir disini kira-kira aman gak ya?"

"Kurang tau, soalnya saya bukan orang situ." Davina.

"Lah, terus mbak tau kalo portalnya udah ditutup dari mana? Kalo mbaknya bukan orang situ?" tanya laki-laki itu dengan nada naik satu oktaf dari sebelumnya.

"Lah emang udah ditutup mas, saya kalo siang kan lewat situ. Mas nya udah nanya alamat malah nyolot, gak tau apa saya pulang kerja cape, saya jawab baik-baik mas nya malah nyolot." setelah menyelesaikan kalimatnya Davina kembali berjalan.

"Kalo ngomong soal cape, semua orang juga cape mbak!" kali ini laki-laki tadi berteriak.

Entah mimpi apa Davina hingga moodnya malam ini harus kacau gara-gara seorang abang-abang shope food.

Sepanjang jalan Davina tidak berhenti ngedumel. Ia masih merasa dongkol dengan sikap abang-abang shope tadi.

Akhirnya Davina sampai didepan gerbang kosan nya. Mood nya seketika sedikit membaik kala melihat seorang wanita paruh baya yang tengah menjemur baju.

"Bu, baru nyaci? Tumben nyucinya malem." sapa Davina pada ibu kos-nya.

"Eh, neng Davina. Iya nih, soalnya Gia lagi sakit, lagi rewel dia, ini mumpung Gia tidur jadi ibu nyuci nya sekarang, Vin." Jelas ibu kos.

Mulut Davina membentuk O sempurna.

"Kamu, baru pulang? Sift siang ya?"  lanjut ibu kos.

"Iya Bu. Semoga Gia cepet sembuh ya, Bu. Davina naik dulu, mau istirahat, hehe..."

"Iya cantik,"

Davina sampai pada kamarnya, segera ia memutar kunci lantas membuka pintu. Tidak ada barang mewah disana, hanya selembar kasur lantai, selimut, sebuah bantal, serta satu tumpuk baju  dalam keranjang. Davina melepas tas punggungnya, lalu berganti mengambil handuk lekas membersihkan diri.

"Aaarhhh, kasur ku yang tak seempuk kasur hotel bintang lima, aku merindukan mu, sungguh..." Davina berdialog seolah kasurnya bisa berkomunikasi dengannya.

Tapi, memang benar kan jika seseorang lelah karena telah sehari bekerja kasur adalah hal yang paling dirindukan.

Saat Davina menatap langit-langit kamar kosnya, semesta seakan ingin membantunya untuk terpejam. Semesta menurunkan rinai hujan syahdu tanpa diiringi oleh tim hore seperti petir dan kawan-kawan. Suara tetes demi tetes hujan yang bersahutan membuat sebuah nyayian khas akan membuat siapa saja merasa tenang dan mendatangkan rasa kantuk lebih cepat, misalnya Davina yang mulai meresapi melodi yang dibentuk oleh hujan membuat matanya lebih berat, dan perlahan, matanya mulai terpejam.

Satu Cup Ice Cream Ditempat Yang Berbeda (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang