11

14 5 0
                                    

Tercetak jelas bekas tamparan dipipi Davina. Pihak restoran tidak menyalahkan Davina justru Bu Rena sakit dengan sikap Davina yang tegas. Disaat orang lain hanya menonton Mila yang dibentak-bentak Davina justru maju dan rela terkena tampar.

Meski Mila salah karena ceroboh tapi tidak seharusnya Mila dibentak didepan umum. Davina tau rasanya dipermalukan seperti itu, maka dari itu tak ada alasan mengapa ia harus takut pada orang seperti itu.

"Davina, gimana pipi kamu?" Bu Rena menghampiri Davina yang tengah duduk diantara orang-orang yang kembali beraktivitas melakukan tugasnya.

"Gakpapa Bu, tadi udah dikompres sama Mila."

"Bu... Mila minta maaf ya, gar--"

"Sutt... Gakpapa Mila itu wajar. Semua orang pernah melakukan kesalahan, bahkan sebelum saya diangkat sebagai manager saya pernah melakukannya kesalahan seperti yang kalian lakukan, atau bahkan lebih parah. Prihal orang tadi, saya sudah memperingatkannya." jelas Bu Rana. Ia sosok yang bijaksana terhadap anak buahnya, karena menurutnya ia pernah mengalami semua itu jadi tak apa jika bawahannya itu melakukan sebuah kesalahan.

***

Jam pulang pun tiba Davina tengah mematung menunggu angkot. Davina mengecek notifikasi yang sedari siang belum ia buka. Teryata ada beberapa pesan masuk dari Lily sahabatnya, Ibu, serta Bagas.

Davina membuka pesan yang dikirim oleh ibu nya.

Ibu: Davina, kamu sehat kan?

Davina: Allhamdulilah Bu, Davina sehat. Gimana kabar ibu sama ade-ade?

Setelah membalas pesan sang ibu Davina membuka pesan dari sahabatnya Lily.

Lily: Maaf Vin, tadi pagi aku kasar. Aku bakal dukung kamu, apapun keputusan kamu. Aku cuma gak mau denger kamu sakit karena dia.

Davina: iya, gakpapa kok, Ly. Aku tau kamu cuma gak mau aku sakit. Emang aku nya aja yang batu. Aku bakal tanyain kepastian setelah ini sama dia, Ly.

Ya, rencananya Davina akan bertanya prihal itu. Dia sudah memikirkannya. Sudah empat bulan mereka dekat, rasanya proses pendekatan untuk sebuah status hubungan sudah cukup. Bagas sudah mengetahui luka Davina, Pun Davina yang mengetahui luka Bagas.

Davina kemudian membuka pesan dari Bagas.

Bagas: Davina, kamu nanti tunguin aku depan resto ya, aku jemput.

Kali ini Davina hanya membaca pesan Bagas. Ia tak berniat untuk membalasnya. Ia sedang menimbang-nimbang pertanyaan yang akan ia tanyakan pada Bagas. Maka dari itu ia akan menghindar terlebih dahulu. Untuk jawabannya nanti, Davina sudah siap.

Sebuah angkot berwarna merah berhenti tepat didepan Davina. Ia segera naik, seperti biasa pandangannya selalu tertuju pada jendela menikmati perjalanan.

***

Davina turun dari angkot, ya, ia sekarang harus berjalan menuju kos nya. Sepanjang jalan Davina sesekali mengadahkan pandangannya memandang langit. Beberapa bintang berkelip disana, bintang yang terlihat adalah bintang yang paling terang, karena cahaya dari gedung-gedung tinggi mengalahkan cahaya bintang ya, begitulah langit Jakarta.
Davina menyukai bintang, bulan, langit, hujan, awan, atau apapun yang berhubungan dengan langit.

Davina berhenti sejenak. Ia duduk pada sebuah kursi panjang berwarna putih. Ia memandangi bintang bintang yang berkelip itu. Ya, langit selalu menawarkan keindahan yang membuatnya menjadi tenang. Davina menghala nafas panjang.

Ya, Bagas berhasil membuat Davina menjadi sekacau ini. Bahkan rasa tamparan yang ia terima dari laki-laki tadi direstoran biasa saja rasanya, justru lebih sakit jika mengingat sikap Bagas yang terkadang terkesan seperti datang disaat membutuhkan bahu Davina lalu pergi disaat ia sudah merasa tidak membutuhkan bahu Davina lagi.

"Davina!"

Suara Bagas--batin Davina.

Benar saja, saat dirinya menoleh sang empu sudah turun dari motornya lantas menghampiri Davina. Bagas duduk disamping Davina, lalu menyodorkan sebotol minuman bersoda. Davina mengambilnya, Bagas meminum minumannya. Saat melihat Davina tak meminum minuman yang ia berikan Bagas kembali' mengambil botol itu, laku membukakan tutup botol dan kembali memberikannya pada Davina.

Davina meminumnya. Ia menghargai Bagas yang telah membukakan minuman itu. Padahal ia sedang tidak mood itu hanya sekedar minum.

"Manja banget sih, Vin." celetuk Bagas.

"Kenapa kamu pulang duluan? kan aku udah bilang tunggu aku." sambung Bagas.

Davina yakin jika Bagas akan mempertanyakan hal itu.

"Kamu emang udah nganter sepupu kamu? Emang kamu gak main sama Aura?" Davina memang sedang ingin ribut dengan Bagas.

"Apaan sih, Vin. Aura lagi Aura lagi. Aku gak punya hubungan sama Aura. Bisa kan kita bahas yang lain?"

"Oh oke. Sekarang gimana hubungan kita kedepannya?"

Butuh keberanian yang cukup besar untuk Davina mempertanyakan soal itu. Bagas terdiam beberapa saat.

"Vin, aku udah pernah bilang sama kamu kan, kalo aku masih trauma sama hubungan. Aku pernah se-effort itu, tapi dia malah sia-siain aku. Jadi, biar ini ngalir aja ya." jawab Bagas.

Tapi, bukan itu yang Davina inginkan. Ini hanya prihal iya atau tidak.

"Gakpapa, kamu ngomong aja. Ini bukan prihal trauma atau gimana. Kalo seandainya kamu gak nyaman sama aku bilang. Kamu banyak berubah sekarang. Kalo seandainya ada orang lain bilang, jangan kaya gini." Davina benar-benar menekankan pada setiap kalimat yang ia ucapkan.

"Aku udah ngomong soal itu dari awal, Vin. Aku bahkan udah bilang sama kamu, jangan jatuh cinta sama aku!" Bagas.

Seakan ditusuk oleh ribuan anak panah sekaligus Davina mematung. Sakit? Tentu!
Tapi sepertinya Davina melupakan bagian itu.

"Aku pernah bilang, hubungan aku kandas. Dan disaat itu juga aku bilang sama kamu, jangan jatuh cinta sama ak--"

"Tapi kamu yang ngebuat aku nyaman! Kamu yang datang dan menawarkan warna buat aku! Bahkan kamu ambil first kiss aku tanpa permisi!" ujar Davina menggebu tanpa berkata lagi Davina melenggang meninggalkan Bagas yang terkejut karena mendapatkan serangan dari Davina.

Semua itu benar, memang Bagas yang memulai, tapi mengapa Bagas yang justru sekarang seperti ini. Mengapa Bagas menggantungnya.

Melihat Davina yang bersikap seperti itu membuat Bagas cukup kebingungan. Ia bahkan tak mengejar Davina disaat Davina meninggalkan dirinya dengan keadaan menangis.










Satu Cup Ice Cream Ditempat Yang Berbeda (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang