04

14 6 0
                                    


Bagas merasa bersalah pada Davina, pikirannya berkelana. Ini kali pertama ia bisa dengan mudahnya tertarik pada seseorang. Bahkan sejak pertemuan keduanya dengan Davina ia merasa jika Davina adalah sosok yang berbeda.

Selama mengendarai motor menuju tempat kos nya, Bagas terus memikirkan Davina. Dirinya berpikir bagaimana caranya agar ia bisa meminta maaf pada Davina.

"Gw gak tau ini bakalan berhasil atau nggak, tapi gw bakal coba cara ini besok." Bagas bermonolog.

***

Davina menyusuri trotoar sembari memperhatikan ponselnya, ia sedang bertukar kabar dengan Lily. Davina juga menceritakan Bagas pada sahabatnya itu.

Lily : Awas nanti kamu malah kepincut sama dia, cinta sama benci itu beda tipis.

           Davina: Jangan sampe Ly, kamu gak inget aku masih belum move on dari Arga?


Lily: Kita gak pernah tau gimana kedepannya, Vin...

Saat Davina membaca teks pesan yang dikirimkan sahabatnya seketika ia merasa jika sahabatnya itu memihak Bagas.

Davina kesal, sepanjang jalan menuju halte busway dirinya memasang mimik yang tak enak dipandang.

Disaat ia merasa tidak mood  tiba-tiba orang yang justru tak diinginkan sama sekali kehadirannya.

"Pagi Davina..." sapa Bagas sembari menghadang jalan Davina.

Davina memutar bola matanya malas. Davina berusaha untuk menghindari Bagas, ia terus jalan tak menghiraukan Bagas.

"Jahat lu, orang nyapa baik-baik lu malah cuekin gw. Gw udah effort banget loh, gw naik angkot, gw tinggalin motor gw dikosan, supaya bisa jalan bareng sama lu." Bagas memaparkan.

Davina yang awalnya tak menghiraukan Bagas dan tetap berjalan, kini menghentikan langkahnya. Menatap Bagas dengan intents. Ia juga baru menyadari jika Bagas tidak membawa motor.

"Apa tujuan lu sampe lu bilang itu sebuah effort?" tanya Davina penasaran.

"Gw mau minta maaf sama lu, Vin. Maaf ya kalo semalem gw kasar sama lu, gw gak niat buat bersikap kasar kok, serius." Bagas.

Lagi, Davina tersentuh, ia seakan terhipnotis dengan kata-kata Bagas. Namun, disamping itu jelas ekspresi wajahnya menunjukkan jika ia bingung.

"Davina, lu gak maafin gw ya?" Bagas.

Davina menarik nafasnya dalam, ia tak tega. Terlebih ia mendengar jika Bagas rela naik angkot hanya untuk bisa berjalan beriringan dengan nya.

"Gw udah maafin lu, gw harap lu gak akan lakuin hal yang sama, sama gw atau orang lain. Jangan pernah paksa mereka ketika mereka nggak mau." jawab Davina.

"Oke. Gw gak akan ulangin hal yang sama. Gw bolehkan naik busway bareng lu?"

Meski Davina sebenarnya kepo mengapa Bagas ikut naik busway juga tapi ia memilih untuk tidak bertanya dan mengangguk saja sebagai jawaban. 

Kursi busway telah penuh terisi, mau tidak mau Davina harus berdiri sepanjang perjalanannya. Saat berangkat kerja memang Davina selalu menggunakan busway, namun jika pulang berkerja, ia lebih sering naik angkot.

Bagas berdiri tepat disamping Davina, tinggi badan Davina yang hanya seratus empat puluh enam centimeter membuat seluruh tubuhnya tenggelam saat Bagas berdiri disampingnya.

Bagas memperhatikan wajah Davina lekat. Wajah Davina yang tanpa polesan make up, wajah Davina yang terlihat jelas jika ia masih polos, membuat Bagas semakin gemas. Davina memang tidak secantik itu, kecantikannya standar, namun fisik bukanlah hal yang Bagas utamakan. Perasaan mengalir  saja sejak ia melihat bagaimana Davina berceloteh dengan nada yang judes.

Davina mengadahkan pandangannya pada Bagas, teryata perasaannya benar jika Bagas tengah memperhatikan wajahnya. Davina meneguknya salivahnya, sudah lama ia tak pernah sedekat ini dengan seorang laki-laki. Davina merasa gugup, ia segera mengalihkan pandanganya.

"Perhatikan langkahnya," ucap sang petugas busway.

Davina turun, begitupun Bagas.

"L-lu, turun juga?" Davina.

Bagas mengangguk.

"Ah, terserah deh." sambung Davina tak ingin pusing.

"Gw mau minta nomor WhatsApp lu, boleh?" akhirnya Bagas mengutarakan niat sebenarnya.

"Buat apa? Gw curiga nomor gw dijadiin jaminan pinjol sama lu." Davina menerka-nerka.

"Kalo gak boleh, gw balik." kata Bagas dengan nada turun satu oktaf dari sebelumnya.

"Kosong delapan lima enam...." Davina segera menyebutkan nomornya, sontak Bagas membalikkan badannya.



Satu Cup Ice Cream Ditempat Yang Berbeda (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang