18

2 2 0
                                    

Setelah mempertimbangkan semuanya, Davina memutuskan untuk keluar dari restoran. Saat ini ia akan memilih untuk beristirahat sejenak, dan mencari suasana baru.

Keputusan yang Davina buat membuat karyawan lain bertanya-tanya. Yang mereka tahu, Davina tidak memiliki masalah apapun ditempat kerjanya.

"Vin, kamu yakin mau resign?" tanya mbak Winda memastikan.

"Iya mbak, suratnya udah aku ajukan. Hari ini aku terakhir kerja. Malem nanti aku kosongin loker penyimpanan." jawab Davina.

"Kamu ada masalah? Cerita sama mbak, Vin."

"Nggak ada. Aku mau nyari pengalaman lain, mbak. Hehe...."

Mila yang mendengar percakapan Davina dengan Winda lantas memeluk Davina. Ia tahu betul alasan Davina mengundurkan diri dari restoran. Mila tidak bisa menahan Davina, bagaimanapun itu keputusan yang Davina ambil.

"Jangan lupain gw ya, Vin...." Mila.

"Nggaklah, paling komunikasi rada putus putus, hehe...." Davina.

"Yeh... Davina, putus putus dikira cinta bisa putus, haha...." Winda menimpali secara spontan.

Ucapan Winda membuat Davina dan Mila saling melempar pandangan.

"Mbak, alesan aku resign dari sini karena terlalu banyak kenangan yang tercipta disini sama dia. Mungkin itu terdengar klise, tapi kalo aku paksa itu bakal buat aku sakit terus menerus dalam jangka waktu yang aku sendiri nggak tahu sampe kapan." ucap Davina dalam hati.

***

Malam ini, Davina mengemasi barang-barangnya. Setelah ia memutuskan untuk mengundurkan diri dari restoran, Davina juga berniat untuk pindah dari kosan nya. Ia sudah mendapatkan kosan baru, besok ia akan memindahkan barang-barangnya.

Davina akan benar-benar menghilang dari jangkauan Bagas. Ia berharap setelah ia mengorbankan pekerjaan dan pindah ketempat yang baru, ia juga bisa melupakan Bagas secepatnya.

Keluarga Davina tak banyak bertanya prihal dirinya mengapa memilih untuk mengundurkan diri juga pindah kos. Mereka hanya bisa berdoa yang terbaik untuk Davina.

***

Hari ini Davina berpamitan pada ibu kos dan beberapa tetangga yang kebetulan ia temui saat dirinya menenteng beberapa barang. Bahkan salah seorang tetangganya memantu Davina membawa barang-barangnya turun.

"Davina, sehat-sehat, ya. Kalo kamu mau main kesini, datang aja, neng. Gia pasti seneng." pesan ibu kos.

"Iya, Bu. Nanti kalo Davina ada waktu Davina main kesini, hehe... Davina pamit, ya." jawab Davina lalu menyalami punggung tangan ibu kos.

"Iya, hati-hati neng...."

Davina memesan ojek online. Sebenarnya ia sedikit ragu, ia takut jika yang menjadi drivernya itu Bagas. Untuk memastikan hal itu, Davina langsung mengecek profil sang driver setelah aplikasi memilihkan driver untuknya.

"Syukurlah. Lagi pula, driver bukan cuma dia. Mungkin aja waktu itu kebetulan." ucapnya lega.

***

Akhirnya Davina sampai pada tempat kos nya yang baru. Senyumnya mengembang, kala ibu kos barunya memberikan ia kunci.

"Semoga betah, ya...." Ibu kos.

"Iya, Bu. Makasih...."

Ibu kos lantas pergi setelah memberikan kunci pada Davina. Segera Davina membuka kamarnya, ia mulai menata barang-barangnya. Selesai merapihkan semuanya Davina merebahkan diri sembari membuka ponselnya. Ia menghapus seluruh percakapan Davina dan Bagas dalam bentuk teks, ia juga membersihkan seluruh log panggilan yang didominasi oleh Bagas. Terakhir, Davina menghapus foto-foto dirinya bersama Bagas, hanya satu foto yang tak dihapus, entahlah ia pikir tak salah jika hanya satu foto ia simpan.

Meski tangannya tanpa ragu membersihkan semua hal tentang Bagas, tapi mata Davina tak bisa berbohong, air matanya luruh begitu saja. Ia masih menyimpan rasa terhadap laki-laki itu. Ia tak bisa berbohong, jika sebenarnya ia masih berharap semua itu hanya sebuah mimpi dan berakhir ketika Davina terbangun dari tidurnya.

"Argh... Hiks, lu gak mikir ya gimana gw setelah ini? Lu kan tau kalo gw cuma bisa jadi diri gw sendiri didepan lu, argh...." Davina mulai menangis, rasanya memang se-sakit itu.

Tolong, jangan bilang Davina lebay. Jika kalian pernah diposisi Davina atau sedang mengalami hal yang sama kalian pasti tau gimana rasanya.

"Gw gak boleh egois, lu berhak pilih orang itu. Tapi kenapa, kenapa lu nge-treat gw sebaik itu kalo lu sendiri gak mau sama gw. Kenapa! Argh... Dan kenapa harus gw yang lu jadiin pelampiasan lu, hiks...." Davina melempar jepit rambutnya hingga patah.

Ia terus menangis, hanya dengan menangis ia bisa meluapkan kekecewaannya. Hingga ia merasa lelah lalu tertidur, dengan air mata yang masih mengalir dipipi nya.

***

Saking lelah karena menangis, Davina tertidur cukup lama. Hingga saat dirinya terbangun, teryata sudah malam. Ketika ia bangun, perutnya demo minta asupan, ah teryata menangis juga membutuhkan tenaga.

Davina menyalakan lampu. Ia hendak pergi keluar untuk membeli makan. Ketika ia akan menjepit rambutnya, ia baru sadar jika jepit rambutnya telah patah karena ia lempar saat menangis.

"Huft... Gw harus beli jepit rambut lagi."

Davina mengunci pintu.

"Gw mau makan apa, ya? Dari pagi belum makan sih, jadi kayanya beli nasi aja deh, lauknya gimana nanti."

Sembari memikirkan apa yang akan dirinya beli, Davina menghafalkan setiap gang yang ia lewati.

Ketika melihat orang-orang berkerumun pada sebuah gerobak salah satu penjual, ia penasaran dan ikut bergabung bersama mereka. Teryata itu pedagang kwetiau goreng. Alhasil, niat dirinya membeli nasi pun urung, ia membeli kwetiau goreng.

"Makasih, pak...." Davina tersenyum saat menerima kwetiau pesanannya.

Begitu mudah mood nya kembali. Hanya dengan kwetiau dirinya bisa kembali tersenyum sumringah.

Davina kembali ke kamar kosnya, dengan beberapa tentengan. Ia tak hanya membeli kwetiau, ia juga membeli cireng isi, basreng juga ice cream rasa vanilla.

Sembari memakan semua itu, ia mencoba menghubungi ibu nya.

"Assalamualaikum, Bu...."

"Walaikumsalam, gimana kabar Kamu, sehat?"

"Allhamdulilah sehat. Ibu gimana? Bapak? Ade-ade? Semua sehat kan?"

"Allhamdulilah sehat... Kebetulan kamu nelepon, semalem ibu mimpi kamu nangis, kamu gakpapa disana, Vin? Kamu baik-baik aja kan?"

Mendengar pertanyaan sang ibu, ingin rasanya Davina bercerita, jika ia sedang merasa patah hati. Tapi, ia terlalu gengsi untuk berbagi cerita seperti itu pada ibunya.

"Loh, kok bisa. Padahal Davina disini gakpapa."

"Ya, udah. Tapi, kalo misalnya kamu lagi ngerasa kurang baik, kamu cerita ya, sama ibu."

"I-iya, Bu." jawab Davina sedikit terbata, ia berusaha menahan tangisnya.

"Kamu, lagi makan kan? Abisin dulu, nanti sambung lagi."

"Iya, Bu...."

Telepon ditutup.

Mood yang tadinya sudah membaik kini nurun lagi, sembari memakan kwetiau air matanya meleleh. Rasa kwetiau yang gurih pun harus bercampur dengan rasa asin tambahan yang berasal dari air mata Davina serta ingus yang siap-siap hendak terjun.

Satu Cup Ice Cream Ditempat Yang Berbeda (End)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora