6 - Pelit

18.1K 2.4K 2.3K
                                    

"Ciee di-skors, ciee," goda Gea sembari mencolek-colek pundak Arka dengan tawa menyebalkan. Sementara laki-laki itu hanya menghela nafas berat.

"Senangnya, nggak ada Arka di sekolah selama dua minggu!" kata Gea seraya mengangkat tinjunya ke udara.

Gadis itu kegirangan, sejak tadi tidak berhenti tertawa. Seakan penderitaan Arka adalah bahagia terindahnya.

Jelas sekali Arka menderita. Meskipun langganan berkelahi dan berbuat onar, tetapi dia adalah salah satu murid ambis dan berprestasi sejak awal. Prinsip hidup Arka adalah keseimbangan. Nakal boleh, tapi prestasi harus tetap jalan.

Kecerdasannya seperti sebuah anugerah. Arka pintar tanpa repot belajar seakan itu adalah bakat. Sisa waktunya ia gunakan untuk bermain dan bersenang-senang daripada belajar.

Arka mengabaikan Gea dan kembali fokus pada komputer di hadapannya. Sejak pagi ia berada di toko bunga karena diusir. Agatha tidak mau melihat wajahnya di rumah.

Sebenarnya, toko bunga ini hanyalah penyaluran hobi mamanya saja. Aslinya, sang mama adalah seorang Dokter. Tapi papanya tidak memperbolehkan Agatha bekerja, toko bunga serta kebun bunga berhektar-hektar adalah sogokan agar Agatha tetap di rumah mengurusnya.

Arka heran sekali, Raka sangat bucin pada mamanya. Tapi kenapa sikapnya terlihat sangat dingin? Arka tidak pernah melihat Raka bersikap manis di depannya. Papanya itu seperti papan es berwajah manusia.

"Ihh, itu game apa?" Gea tiba-tiba ada di sebelahnya, menatap tertarik pada layar komputer Arka.

"Jangan ganggu, minggir!" ketus Arka lalu mendorong wajahnya menjauh dengan telapak tangan besarnya.

"Ihh, mau liat!"

"Nggak."

Gea maju, Arka menahan wajahnya lagi. Seluruh wajah mungil gadis itu terangkum oleh satu tangannya saja. Alhasil, Gea hanya berjalan di tempatnya.

"Arka, mau liat!" rengek Gea sambil menurunkan tangan Arka susah payah.

Arka menutup mata sejenak lalu menatapnya. Gea memandangnya memelas dengan mata dikedip-kedipkan dan bibir bawah mengerucut. Berusaha menjual keimutannya.

"Nggak," kata Arka lebih tegas.

"Yaudah, aku pulang."

Gea mengambil tas selempang miliknya dengan kasar lalu melangkah keluar. Gea menarik gagang pintu kaca besar itu, lalu kembali menatap Arka emosi. "Kok aku nggak ditahan?!" marahnya.

Arka geleng-geleng kepala lalu akhirnya bersuara.

"Yaudah sini, tapi janji jangan ganggu." Arka menepuk-nepuk pahanya, meminta Gea duduk di sana.

"Janji," ucap Gea cepat dan melangkah mendekat. Ia duduk di pangkuan Arka seraya menatap berbinar game yang dimainkan pria itu.

Gea duduk di hadapannya tapi sama sekali tidak menghalau pandangan Arka. Saat duduk, kepala gadis itu bahkan tidak mencapai dagu Arka.

Arka membawa maju kursinya, membuat punggung Gea menempel di dadanya. Jarak mereka sangat dekat. Kedua tangan Arka yang terulur ke depan dan menari di keyboard membuatnya terlihat seperti memeluk Gea.

Arka tersenyum tipis, gadis itu sungguhan anteng dan menonton tanpa berisik.

"Arka, ajarin aku!"

Arka menaikan alisnya. Gea aneh hari ini, padahal sebelum-sebelumnya ia akan mengamuk saat melihat Arka memainkan game karena jadi membuatnya terabaikan. Tapi hari ini ia terlihat sangat tertarik.

"Buat apa?" tanya Arka.

"Kak Langit suka main game, aku pernah liat dia main game ini di story Instagramnya."

My Lethal Boy Friend Where stories live. Discover now