11 - Awan

25.1K 2.9K 1.4K
                                    

Gea keluar dari rumah Arka dengan seragam lengkap, rok di bawah lutut, seragam atas kebesaran. Penampilannya diatur oleh Arka sejak dulu. Culun, terkesan tidak menarik. Katanya sekolah itu yang terpenting otak, mau pakai karung goni juga tidak masalah.

Menyebalkan. Gea menjadi sangat culun dan terkesan biasa saja. Tidak menarik. Tubuhnya sudah kecil dan semakin tenggelam. Tapi Gea bisa apa? Amarah Arka lebih menakutkan dari auman harimau.

Gea melirik ke samping pada Arka. Ia segera tersenyum, menatap Arka yang hanya mengenakan celana pendek hitam dan kaos putih tanpa lengan, memperlihatkan bisepnya. Pria itu sedang mencuci motornya di halaman rumah.

"Arka, lagi ngapain?" tanya Gea ceria.

Arka mendelik sinis. "Makan bakso! Nyuci motor lah, buta lo?" jawab Arka ketus.

Gea berdecak kesal. Ia menendang udara seolah-olah menendang Arka. Untungnya Arka tidak melihat karena sibuk dengan motornya.

Gea mendekat dan berdiri di sebelahnya. Sambil menunggu Senja menjemput, ia mengajak Arka bicara. "Tumben keluarin motor. Mobil kamu kemana?"

"Kepo."

Gea menghela nafas. Padahal semalam Arka sangat baik dan memeluknya. Hangat dan menenangkan. Tapi pagi ini ia sudah kembali ke mode semula. Mode senggol bacok yang sensinya melebihi ibu-ibu hamil.

Gea tahan amarahnya, gadis itu berdehem lalu tersenyum manis. Tiba-tiba ia bersikap centil.

"Arka," panggilannya mencolek-colek bahu Arka. Pemuda itu meliriknya datar, tidak minat. Pasti ada maunya jika sok manis seperti ini. Dan benar saja dugaannya.

"Besok aku mau ikut camping yang diadain sekolah. Satu hari doang. Jangan aduin Papa, ya? Please, aku mau banget ikut. Mumpung Papa nggak ada." Gea menyatukan tangannya, menatap Arka dengan tatapan paling memelas serta mata yang dikedip-kedipkan lucu.

"Ada Langit?" tanya Arka.

"Ada kayaknya. Aku mana tau dia ikut atau nggak. Aku kan bukan emaknya," kata Gea. "Kecuali kamu, aku tau kamu nggak mungkin ikut. Kamu kan masih diskors. Siapa suruh bandel."

Gea tertawa alim. Membayangkan betapa bahagianya di sana tanpa sosok Arka.

"Ngejek gue?" Arka meliriknya tajam.

"Hehehe, dikit," kaya Gea sambil mencubit jarinya ke udara.

Arka melangkah menjauh untuk menaruh selang dan peralatan yang ia pakai mencuci motor. "Nggak boleh. Sok-sokan camping ke hutan, ketemu kecoa terbang aja nangis seharian."

Gea berlari mendekat dan kembali membujuknya. "Tapi kan di sana rame, Arka. Ada Senja juga, Senja jago karate. Aku aman sama dia."

Arka melangkah kembali menuju motornya, Gea masih mengekori di belakang. Membuntutinya seperti anak kecil yang meminta uang jajan pada ayahnya.

Arka berucap lagi. "Nggak ada camping-campingan. Kaya nggak punya rumah aja tidur di tenda segala."

Gea menghentakan kakinya kesal. Membujuk Arka sangat sulit. Laki-laki itu keras sekali. Sudah seperti orang berumur saja.

Tin! Tin!

Suara klakson mobil terdengar dari depan. Senja ada di luar gerbang dengan mobilnya.

"Sana berangkat," dagu Arka mengedik ke arah luar. "Pusing gue liat lo terus."

"Ck!"

Sebelum melangkah pergi, gadis berbandana kuning itu mencubit kesal lengan Arka. "Nyebelin!" pekiknya.

Gea kemudian pergi, kakinya dihentak-hentakan ke tanah. Satpam dan pekerja yang ada di sana sampai geleng-geleng kepala menatap tingkahnya. Seperti bocah berumur lima tahun.

My Lethal Boy Friend Where stories live. Discover now