9 - Sakit Hati

18.3K 2.5K 1.3K
                                    

Kepala Gea seperti akan meledak melihat soal kimia yang tidak dia pahami sama sekali. Jangankan jawabannya, Gea bahkan tidak mengerti dengan apa yang diperintahkan soal itu.

Pekerjaan rumah selalu membuatnya tersiksa.

"Pusing banget," kata Gea mengacak rambutnya. "Capek banget sekolah, pengen nikah muda aja!" pekiknya.

Rambutnya berantakan dan kusut tidak beraturan, sudah satu jam Gea duduk di meja belajar. Tapi tetap saja, dia tidak menemukan jawaban. Kepala gadis itu hanya dipenuhi Langit, Langit, Langit, dan Langit. Tidak ada tempat untuk soal-soal memusingkan itu.

"Kak Langit lagi apa, ya?" gumam Gea, wajahnya berubah cerah. Gadis itu terkikik sendiri seperti orang gila. "Kak Langit kenapa seganteng itu, ya? Cocok banget jadi pacar aku."

"Langit nggak doyan cewek goblok kaya lo."

Suara menyebalkan dan sinis itu datang dari Arka. Pemuda itu berbaring nyaman di ranjang merah muda Gea dengan ponsel miring dan suara pertandingan samar dari game yang dimainkan.

Gea berdecak. Neraka menyambutnya selama tiga hari ke depan. Kedua orang tuanya pergi untuk menengok keluarga Maxim di Kanada. Gea tidak masalah ditinggal sendirian. Tapi Papanya justru menitipkannya pada Arka! Selalu saja seperti ini!

Dijaga oleh Arka seperti dipenjara. Sikap laki-laki itu bahkan lebih keras dari orang tuanya sendiri. Malah Arka seakan mengambil alih tugas orang tuanya. Mendidik, mengatur, dan mengawasi Gea dengan ketat.

Gea mustahil duduk mengerjakan tugas sekolahnya seperti sekarang jika bukan karena paksaan Arka.

Arka itu berlebihan! Keras! Kasar! Tua! Jelek! Jahat! Gea benar-benar tidak suka semua hal tentang Arka. Laki-laki itu seperti ibu tiri dalam dunia dongeng untuk Gea.

"Arka, aku mau nonton Kak Langit!" rengek Gea melempar punggungnya pada sandaran kursi. Mulutnya sampai berbusa mengatakan hal itu sejak tadi. "Senja jemput aku bentar lagi!"

Langit ada pertandingan futsal hari ini melawan Moonlight High School, harusnya Arka juga bergabung dalam tim. Tapi laki-laki itu masih dalam masa skors.

"Nggak ada main-main, kerjain tugas sekolah lo," kata Arka tanpa mengalihkan pandangan dari ponselnya.

"Ish!" Gea menendang-nendang kakinya ke udara. "Papa Mama aku aja nggak pernah larang-larang aku main!"

"Cih, justru lo nggak boleh keluar kalau nggak sama gue," balas Arka.

Gea semakin meraung-raung kesal karena ucapan Arka benar. Papanya tergolong protektif terhadapnya. Gea dilarang pacaran, Gea dilarang main terlalu lama. Jam malam Gea saja dibatasi hanya sampai pukul tujuh. Tidak kurang, tidak lebih. Terkecuali, jika pergi bersama Arka.

Maxim yang tidak mudah percaya orang lain, justru akan langsung mengangguk mengiyakan setiap ada nama Arka disebut. Maxim seakan mempercayai Arka menjadi papa kedua Gea.

Mereka berdua tumbuh bersama, sejak kecil tidak pernah terpisahkan meski sifat keduanya bertolak belakang. Orang tua Gea dan Arka juga bersahabat sejak lama. Maxim bahkan lebih mempercayai ucapan Arka daripada putrinya sendiri.

Menyebalkan!

Prak!

Arka akhirnya mengangkat kepala saat melihat gadis itu melempar bukunya ke lantai lalu menginjak-injaknya penuh emosi. "Enyah kamu tugas sekolah!"

Arka menggelengkan kepalanya heran. Berdiri, ia menyingkirkan tubuh gadis itu dengan mengangkat pinggangnya, menyeret Gea ke samping dengan mudah seperti hanya mengangkat selembar kapas.

My Lethal Boy Friend Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang