0. Tabrakan

372 19 25
                                    

Hari Kamis, pukul sepuluh malam kurang. Jalanan licin karena hujan yang dimulai sejak sore hari tadi. Tetapi itu, dan fakta ini baru hari Kamis, tidak mengurangi antusiasme pengunjung distrik hiburan Kota Hargitsi: sebuah kota yang berdiri sejak awal tahun 90-an ketika seorang pengusaha kaya menginvestasikan uangnya untuk sebuah kota hiburan yang masih mematuhi aturan pemerintah Negara—nyaris mematuhi. Tetapi ambang batas yang dengan cerdik dimanipulasi itu adalah apa yang menjaga kota kecil itu berputar dan beroperasi. Pusat tak pernah mendengar hal buruk mengenai Hargitsi, dan jikapun iya, mereka akan menutup telinga. Kota dengan jumlah penduduk yang tidak mencapai dua juta jiwa tersebut merupakan salah satu penyumbang terbesar kas negara. Setiap desas-desus mengenai peredaran narkotika ataupun tumpah darah di kota itu tak pernah menjadi lebih dari sekadar desas-desus dan teori konspirasi.

Secara singkat, Hargitsi adalah kota kriminal berkedok kota hiburan.

Dan di satu dari 128 lampu merah yang ada di kota itu, seorang gadis berusia pertengahan dua puluh menopang motor trail-nya dengan satu kaki; punggungnya melengkung sempurna membentuk postur yang akan membuat anak Pramuka iri. Tanpa sadar ia memainkan cincin besi di jari telunjuknya dari balik sarung tangan setengah jemari, berpikir.

Kurang-lebih, waktu lima tahun telah berlalu semenjak Nefer Kedua meninggal. Dibunuh, orang-orang setuju. Perampokan yang berakhir dengan pembunuhan tidak disengaja, menurut kepolisian. Tapi semua orang yang mengetahui posisi wanita itu tahu bahwa kematiannya bukanlah kecelakaan belaka.

Lima tahun, dan mereka masih belum bisa menemukan pelakunya. Pada saat ini pun, Natascha mulai bertanya-tanya apakah mereka telah mengejar bayangan beberapa tahun belakangan ini. Mungkin Pram memang meninggal karena kecelakaan.

Bukannya tidak pernah ada yang meninggal karena kecelakaan di kota itu.

Tapi bagaimana kalau bukan? pikir Natascha, bersiap memasukkan gigi saat arus persimpangan yang memotong jalurnya mereda. Bagaimana kalau Pram memang dibunuh?

Gadis itu memasukkan gigi dan menarik gas, memelesat sebelum lampu kuning berubah hijau. Dentum musik dan tawa yang silih berganti dan bersahut-sahutan terdengar buram di telinganya; mereka berada di luar fokus. Ia terlalu terjebak dalam pikirannya sendiri dan tak mengantisipasi kemunculan sebuah mobil yang muncul secara mendadak dari jalan tikus beberapa meter di depannya. Dengan refleks gadis itu menarik rem, dan jantungnya berhenti berdetak saat motornya tidak melambat sama sekali. Ia menginjak remnya berkali-kali, tanpa sadar menarik gas lebih kencang, dan tahu-tahu mobil itu telah begitu dekat dengannya.

Yang Natascha tahu, ajal membuat inderanya menjadi lebih tajam.

Saat ia membanting setir ke kiri dan terjatuh, ia bisa mendengar suara krak helmnya yang retak dan terpental lepas dari kepalanya. Ia merasakan intensitas membakar dari kakinya yang terjepit di bawah motor serta sisi tubuhnya di jalan raya dengan segera berubah mati rasa saat aspal yang kasar dan tajam mengoyak kulit dan daging. Setiap pandangan yang matanya tangkap saat berputar di atas jalanan yang licin tampak tajam dan fokus: lampu-lampu kendaraan yang berhenti mendadak, cat hijau dengan setrip kuning dari mobil yang akan membunuhnya, sebuah permen karet yang menempel pada jeruji selokan di sisi jalan, dan cat pudar dari trotoar yang semakin mendekat padanya.

Krak! Tengkoraknya menabrak trotoar tersebut, menghentikan laju Natascha sepenuhnya.

Orang-orang menjerit dan berteriak, ban-ban berdecit dan tawa tidak lagi terdengar dari dalam kelab. Dengan napas pendek-pendek dan kasar yang semakin melambat, Natascha melihat mobil yang muncul mendadak di hadapannya pergi diiringi sumpah serapah orang-orang yang melihat. Dan pada saat itu juga, Natascha mengerti.

Pram.

[ID] H2H: Femme Fatale | Novel: HiatusWhere stories live. Discover now