8. Rumor

47 5 0
                                    

Nefer berjalan dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana dan pikiran yang berkecamuk berisik dibandingkan kesunyian yang menemaninya. Sesekali para pelari pagi berpapasan dengannya atau menyalipnya dari belakang; sekali waktu satu keluarga melewatinya sambil bersepeda bersama. Rumah-rumah berjajar di kanan dan kirinya, ada begitu banyak ruang antarrumah. Tidak seperti rumah-rumah yang berdempetan di pusat kota. Untuk apa memiliki pendapatan ratusan juta per tahun jika bukan untuk dihabiskan membeli tanah dan membangun rumah mewah, baik besar maupun kecil, yang satu petaknya saja telah berharga berjuta-juta? Meskipun demikian, tempat itu jelas telah semakin populer dan ditinggali lebih banyak orang sejak terakhir kali Sovia berada di sana.

Di dalam saku, tangan Nefer memainkan kunci motornya. Pilatzi—wilayah tempat tinggal orang kaya Hargitsi—berjarak setidaknya delapan kilometer dari pusat kota. Nefer berpikir sejenak. Tidak ada jalan memotong yang dapat memperpendek jarak delapan kilo tersebut. Ada alternatif menggunakan bus kota; halte terdekat hanya berjarak sekitar tiga kilo dari tempatnya berada kini. Tetapi rute bus kota dari Pilatzi ke Waina—distik hiburan di mana Nefer memarkirkan motornya semalam—adalah memutari lingkar luar Hargitsi dan kemungkinan besar justru akan memakan waktu lebih lama ketimbang jika ia berjalan lurus menuju pusat kota. Belum lagi ongkos yang jauh lebih mahal ketimbang menghabiskan setengah jam sampai empat puluh lima menit untuk berjalan.

Pemimpin Femme itu menarik napas. Jalan kaki, kalau begitu.

Sayang sekali ia meninggalkan ponselnya di rumah; dia belum mendengar kabar dari Han maupun Rum sejak kemarin. Tapi, ya sudah, mereka pun mungkin memiliki hal lain yang lebih penting untuk dilakukan hari Minggu pagi ini. Dan dia belum memiliki kesabaran yang cukup untuk menghadapi ketidaksukaan yang terang-terangan Han tunjukkan padanya.

Nefer menggembungkan pipi dan meniup udara keras. Seandainya Man tidak memilihnya.

***

Pada pukul setengah dua belas, akhirnya Nefer telah sampai ke rumahnya yang sempit dan apa adanya. Gadis itu menggantungkan kunci serta jaketnya pada gantungan di samping pintu, melepas sepatunya serampangan, dan menyeret tubuh menuju sofa tidurnya. Tubuhnya lelah, sakit, dan terasa seolah akan jatuh amburadul seperti arsitektur Lego yang tidak dipasang dengan benar. Banyak orang meliriknya; beberapa diam-diam dan beberapa lainnya terang-terangan tanpa tahu malu, menatap bekas luka serta memar di wajahnya. Adalah suatu keberuntungan Nefer tidak bertemu dengan satu pun Cewek Femme, karena ia cukup yakin mereka tidak membutuhkan sulutan api lain terhadap emosi yang tengah bergejolak di bawah permukaan.

Dengan perlahan, Nefer membaringkan tubuhnya, mengangkat kaki ke atas lengan sofa dan memejamkan mata. Mungkin ia harus berinvestasi pada tempat tidur dan kasur sungguhan, alih-alih sofa panjang yang tidak mampu menampung seluruh tubuhnya. Atau mungkin itu salahnya, karena terlalu tinggi. Tidak ada jaminan bahwa di pasar ada kasur yang sanggup ia beli dan sanggup menampung 187 sentimeter tubuhnya. Namun saat ini, gadis itu tidak ingin terlalu memikirkan hal-hal tersebut. Tubuhnya terasa kaku dan sakit, dan ia tidak peduli malam sebelumnya dia tidur selama nyaris lebih dari dua belas jam; dia akan tidur siang itu.

Semoga, ketika terbangun, luka-lukanya telah menghilang. Mungkin sekalian dengan gelar Nefertian-nya. Cewek Femme manapun boleh mengambil gelar tersebut jika mau.

Nefer merebahkan lengannya di samping kepala; siku-sikunya menggantung di atas sandaran lengan sofa. Ia memejamkan mata, dan dengan cepat napasnya berubah dalam dan stabil.

***

Pukul tiga sore hari Senin keesokannya, Nefer bertumpu pada satu-satunya jendela di apartemennya dan menatap keluar, ponselnya ditempel di telinga berusaha mencapai nomor yang telah ia hafal betul sejak lama.

[ID] H2H: Femme Fatale | Novel: HiatusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang