7. Reminiscence

48 6 0
                                    

Nefer IV terbangun dengan tubuh babak belur dan sakit kepala berat di kamar lamanya. Jauh sebelum ia menyandang gelar Nefertian; jauh sebelum ia bahkan memiliki apartemen sendiri.

Begitu membuka mata, ia menyadari satu hal: sofa tidurnya tidak pernah—dan tidak akan pernah—seempuk tempat tidur tempatnya berbaring saat itu.

Gadis itu menoleh dan wajahnya menyentuh satu dari puluhan bantal empuk yang mengelilinginya. Bantal-bantal itu terasa dingin dan nyaman menyentuh hidungnya yang memar; kasur mahal di bawahnya melengkung menyesuaikan dengan bentuk tubuh Sovia yang tenggelam dalam tiga lapis selimut.

Sovia memejamkan mata, samar-samar mencium aroma mentega dan keju yang meleleh di panggangan dari dapur. Autumn Leaves mengalun diiringi duet antara Frank Sinatra dan Bang Rian. Dadanya terasa hangat oleh perasaan yang membawanya ke dalam suatu bentuk nostalgia lama. Nostalgia yang konyol, karena Sinatra dan roti keju panggang adalah tradisi Minggu pagi yang selalu mereka lakukan. Mustahil bernostalgia pada hal yang baru terjadi minggu lalu, bukan?

Tangga kayu berderit saat Rian berjalan naik. Pasti untuk membangunkannya. Sovia meringkuk di bawah selimut, menolak membuka mata. Jika ia bangun, maka ia harus mengerjakan tugas sekolah. Belum lagi tugas rumah yang ia hindari selama sepekan belakangan. Rian bisa jadi amat penuntut jika kewajiban Sovia tidak gadis itu tunaikan. Dan di atas segalanya, Rian selalu mendorong Sovia agar dia mengedepankan pendidikan sebelum hal lain. Mafia yang aneh, Pak Tua itu.

Jadi ketika Rian berdiri di ambang pintu kamar Sovia yang tak pernah tertutup, gadis itu menggumam, "Lima menit lagi."

"Femme tidak butuh dirimu pagi ini, Nak?"

Mata Nefertian IV terbuka lebar dan sebelum ia sadar, tubuhnya melonjak bangkit. Perutnya yang memar meledakkan rasa sakit yang luar biasa, mengirim jutaan sinyal ke otaknya secara bersamaan dan nyaris membutakan mata. Nefer kembali terbaring di atas tempat tidur, tubuhnya meringkuk seperti janin sementara mulutnya megap-megap berusaha bernapas.

"Wah, hati-hati, Nak," Rian menyilangkan lengan dan bersandar pada kusen. "Kau masih babak belur. Pelan-pelan saja."

Nefer menoleh, menatap Rian yang hanya mengenakan kaus oblong dan celana pendek. "Apa—kenapa—hah?"

Sulit memastikan, tetapi mata Rian tampak seolah terhibur dari bawah alis tebal dan lebatnya. "Kubilang, hati-hati. Kau bukan Wolverine yang bisa langsung sembuh begitu terluka. Jangan terlalu memaksakan diri."

Nefer menegakkan tubuhnya perlahan-lahan, berhati-hati agar tidak menyakiti tubuhnya lebih jauh. "Begitu lebih bagus." Rian berbalik. "Kalau kau sudah siap, aku membuat roti keju di bawah."

Pria itu menuruni tangga dan baru kini Nefer menyadari suara langkahnya yang pincang. Ditinggalkan sendirian dalam keadaan sadar, gadis itu menatap sekelilingnya, sadar dirinya tidak lagi berusia dua belas tahun maupun berada di bawah naungan Rian. Nefer IV mengerjapkan matanya. Ruangan itu sama persis seperti kali terakhir dia melihatnya: tiga buah jendela besar yang menjadi sumber utama cahaya masih polos tanpa gorden; lantai kayunya masih berwarna putih dengan dinding abu-abu lembut serta kusen-kusen kayu berwarna abu-abu yang lebih gelap. Sebuah meja belajar berdiri rapat dengan jendela yang berada di seberang ruangan, dengan lampu meja yang Sovia rakit ketika kelas dua SMP masih berdiri di atasnya. Di sisi lain ruangan adalah rak-rak buku berisi buku pelajaran, buku catatan, jam beker klasik berbentuk bulat, celengan babi berwarna putih, dan sebuah boneka kain perca yang tampak seperti hibrid Pikachu dan seekor rubah.

Bahkan seprai, selimut, dan sarung bantalnya tidak berubah. Tetapi tidak ada debu setitik pun di ruangan itu. Rian menjaganya tetap bersih dan siap ditinggali, seolah ... seolah....

[ID] H2H: Femme Fatale | Novel: HiatusWhere stories live. Discover now