Undercover Operation #3

4.6K 265 1
                                    

"Hey Justin," aku berbalik, melihat siapa yang memanggilku walaupun aku sebenarnya tahu, "Aku turut berduka."

"Itu terjadi begitu cepat." aku menghela nafasku,

"Ya, aku tahu." ia duduk di sebelahku, memelukku,

"Aku dinobatkan sebagai mata-mata terbaik tapi kenapa aku tak bisa menjadi yang terbaik bagi pamanku sendiri?"

Kami terdiam tanpa berbicara sama sekali—di kantor polisi—menunggu hasil-hasil yang didapatkan. Aku harus mendapatkan salah satu petunjuk untuk memudahkanku menemukan siapa pembunuhnya. Aku yakin dia orang yang pintar, dia bisa melewati beberapa personil polisi dan semua yang berjaga-jaga, bahkan kabur tanpa jejak sama sekali. Seorang polisi berjalan mendekati kami, membawa sebuah kertas di tangannya.

"Maaf tuan, kami tak mendapatkan apapun."

"Bagaimana dengan ciri-cirinya?"

"Tak ada sama sekali. Maafkan kami."

"Kalian sudah mengecek video CCTV?" Jesslyn angkat bicara,

"Sudah, nona. Tapi, kami tak mendapatkan identitasnya."

Aku menatap Jesslyn, "Aku akan mengantarmu pulang."

"Apa yang akan kau lakukan, Justin?"

"Tidak ada. Tidak ada harapan." aku menarik tangannya,

Aku menyimpan dendam yang sangat kuat untuk pembunuh pamanku. Ia baru saja menjadi presiden, menjadi presiden adalah mimpi terbesarnya. Aku tak tega melihatnya. Aku bahkan baru saja mendengarkan pidato yang ia buat dengan jerih payahnya sendiri. Semuanya terasa tidak adil. Aku akan mencoba untuk membalaskan dendam pamanku pada pembunuh itu. Aku memegang perkataanku, berjanji.

"Kita sudah sampai."

"Ya."

"Justin, kau tidak apa-apa?"

Aku menatap Jesslyn, "Aku mencoba."

Ia mendekatiku, "Semuanya akan baik-baik saja, kan?"

"Aku harap. Terima kasih, Jess."

Ia keluar dari mobilku kemudian menatapku dari jendela, "Aku mencintaimu."

Aku secepatnya menatap matanya, aku bisa melihat ketulusan ketika ia mengucapkan itu. Aku juga mencintainya. Ia peduli. Hanya dari dua kata itu pun aku bisa membacanya. Aku mulai menancap gas dan pergi meninggalkannya, masih memikirkan siapa yang akan menggantikan posisi pamanku, aku harap ia seseorang yang baik dan bijaksana. Aku harap ia seorang yang bertanggung jawab. Tak lama kemudian, Josh meneleponku.

"Ya?"

"Aku turut berduka Justin. Sebenarnya aku mempunyai satu misi untukmu dan Jesslyn, tapi sepertinya kau masih berduka jadi..."

"Itu bukan halangan bagiku. Katakan apa misinya."

"Apa kau yakin? Kau tak boleh memaksakan dirimu."

"Aku yakin, Josh. Katakan saja."

"Sebenarnya ini bukan misi dariku. Besok kau akan membacakan pidato belasungkawa atas kematian pamanmu, di Westhound Ballroom, pukul 7:30 malam."

"Aku akan melakukannya."

"Kau juga akan bertemu dengan presiden yang baru. Ia akan menggantikan posisi pamanmu. Kau laksanakan itu besok, oke? Dan sekali lagi, aku turut berduka."

"Terima kasih, Josh."

Aku akan menyampaikan pidato pada seluruh warga negara ini. Kenapa tidak salah satu menteri saja? Kenapa harus aku? Tapi aku harus menyingkirkan pertanyaan itu sekarang. Ini sebuah misi. Tak lama kemudian, seseorang berhenti tepat di depan mobilku. Ia menunduk, sulit mengenalinya karna ia memakai hoodie. Aku membunyikan klakson berkali-kali tapi ia tak menyingkir.

"Minggir, bodoh! Apa yang kau lakukan?!" aku tahu aku tak sopan,

Ia mengangkat tangannya kearahku... dengan sebuah pistol. Aku secepatnya keluar dari mobilku dan mengarahkan pistolku padanya juga. Kami berada dalam posisi berdiri sambil mengarahkan pistol ke satu sama lain. Aku menatapnya tajam. Ia tampak misterius. Aku bahkan tak bisa melihat wajahnya.

"Letakkan senjatamu! Siapa kau?!"

"Kau tak perlu tahu."

"Aku harus tahu."

"Kau siapa?!" ia menaikkan suaranya,

"Justin." aku mengatur nafasku, mencoba tenang, "Aku Justin. Kau?" aku perlahan mendekatinya,

Ia menembakku tepat di bagian dada. Aku terjatuh, merasa sakit karna pelurunya seperti benar-benar menembusku. Aku menatapnya, sedangkan ia berlari menjauhiku hingga aku tak bisa melihatnya lagi. Aku mencoba berdiri, meraih pintu mobilku dan masuk, mencoba untuk menahan rasa sakitnya.

Jesslyn's POV

"Danny? Apa kau disana?" aku meraih pintu kamar Danny dan melihatnya,

Ia mengangguk, kemudian menulis, 'Ada apa, Jess?'

"Kau bertingkah aneh tadi siang. Aku belum sempat menanyakan hal ini. Bagaimana kabarmu?"

Ia mengambil secarik kertas dan menulis, 'Aku belum terbiasa dengan alat pendengar yang kau berikan.'

"Kau bisa menekan tombol off ini jika yang kau maksud adalah kau tak terbiasa mendengar suara dari beberapa meter jauhnya." aku menekan tombol off yang ada di alat pendengarnya,

Ia tersenyum, mengangkat jempolnya padaku, kemudian mulai menulis, 'Kapan akan ada alat bicara untukku?'

Aku menghela nafas, "Mungkin nanti, karena akhir-akhir ini tak ada murid TISA yang sama sepertimu, Danny."

Danny adalah seorang anak berumur 8 tahun yang tak bisa mendengar dan berbicara. Baru saja, Carmen, murid di TISA membuat alat pendengar dengan fitur ekstra, alat ini tidak hanya untuk membantu orang-orang yang tuli, tapi untuk mendengar suara dalam radius ±1 meter. Danny juga termasuk anak yang jenius, IQ-nya sekitar 152. Selain dengan Danny, aku tinggal bersama Cody, Sydney, Geovany, Madelyn, dan ibu angkat kami, Nyonya Rostow.

"Jesslyn! Justin menunggumu di luar." aku berbalik melihat Sydney,

"Ada apa?"

"Entahlah."

Aku mempercepat langkahku. Sydney benar, Justin berada di depan pintu, dengan wajah yang tampak pucat. Ia menatapku, tersenyum lemah. Aku makin mempercepat langkahku, menghampirinya. Ia memelukku, aku bisa mendengar nafasnya yang tak beraturan tepat di telingaku. Ia meremas pelan lenganku. Aku tahu ia pasti sedang terluka.

"Bawa aku ke kamarmu secepatnya. Jangan ada siapapun yang ikut." bisiknya,

Aku menelan ludahku, "Apa kau mabuk?"

"Tidak, Jess. Lakukan saja. Aku butuh pertolongan. Aku tak mau anak-anak melihat ini."

Aku melakukan apa yang Justin perintahkan, walaupun sebenarnya aku takut. Apa ia mabuk? Tapi aku yakin Justin adalah laki-laki yang baik, dia tak seperti apa yang kupikirkan saat ini. Dia baik. Itu saja. Perlahan aku memegangnya dan menuntunnya ke kamarku, kemudian aku menutup pintu. Aku melihat Justin membuka jasnya.

"Justin, kau... "

"Ya. Aku tahu." ia memotong perkataanku,

"Ada apa?"

"Seseorang menyerangku tadi."

Aku mendekatinya, mengambil kapas dan obat untuk mengobati luka tembaknya. Ia membuka kancing kemejanya, kemudian melemparkan kemeja putih polosnya itu. Aku mencoba untuk mengambil pelurunya perlahan, untung aku sudah mempelajari caranya. Akhirnya, aku berhasil.

Justin tertawa, "Kau sama sekali tak memerhatikan darah di jas milikku tadi?"

Aku menatapnya, "Jasmu berwarna hitam."

Kami terdiam sejenak hingga Justin memulai kembali, "Besok aku akan menyampaikan pidato belasungkawa, kau ikut?"

"Jika kau menginginkanku ikut."

"Bolehkah aku menginap untuk satu hari ini?"

"Mhm."

Undercover OperationWhere stories live. Discover now