Satu

604 76 37
                                    

Bab satu.

Seharusnya, Dani Landon Johan tetap mati. Tubuh gadis itu harusnya terkubur di samping teman-temannya, perlahan melebur menyatu dengan tanah. Bukannya malah terantai seperti binatang buas dalam sel penjara.

Kedua lengan dan kakinya diborgol. Dua pasang rantai yang tersambung dengan borgolnya tertanam ke dinding beton. Aroma sulfur memuakkan memenuhi setiap sudut ruangan. Manusia biasa akan tercekik menciumnya, tetapi apa yang dikurung di dalamnya bukan lagi manusia.

Berangus yang menutupi sebagian wajah Dani melindunginya dari aroma sulfur itu. Dani tidak akan menciumnya meski dia masih bernapas.

Dani tidak tahu berapa lama dia telah ditahan di sana. Waktu telah menjadi konsep asing baginya. Hanya luka dalam pada pergelangan kaki dan tangan Dani, hasil gesekan besi borgol yang melumpuhkan, yang sanggup menjadi indikator berapa lama dia telah terkurung dalam sel itu.

Awalnya, Dani berhitung. Gadis itu mengonversi menit pada detik. Kemudian satu jam. Lalu 24 jam. Setelah mendapat jumlah detik yang ada dalam satu hari, Dani mulai menghitung. Satu sampai delapan puluh enam ribu empat ratus. Dia belum pernah berhitung selama itu. Namun, dalam kegelapan tanpa akhir ruangan bernama Tingkat Tiga, mustahil Dani bisa mengetahui berapa lama waktu telah berlalu. Angka adalah teman satu-satunya.

Pada hari pertama, Dani cukup tenang untuk menghitung secara koheren. Setelah satu hari berlalu, dia meraba-raba dalam kegelapan, meringis sakit ketika borgol di tangannya menggesek kulit yang dingin, hingga mencapai dinding di sampingnya.

Meski tahu hal itu tidak akan berhasil, Dani berusaha menggores dinding beton dengan kukunya. Sekujur tubuh Dani meremang ngilu saat kukunya bertemu beton, tetapi tidak sedikit pun kikisan terbuat.

Hanya ada satu cara baginya untuk meninggalkan marka di dinding yang kokoh. Dani tidak tahu apakah dia sanggup melakukannya, tetapi tidak ada salahnya mencoba, bukan?

Dani mengepalkan tangan, merasakan kuku-kuku bergerigi karena sering dia gigiti menggaruk telapak tangannya. Dia meregangkan jemari, lalu berpikir, Tumbuh.

Dia mengepalkan tangan sekali lagi, tidak merasakan adanya perbedaan. Tumbuh, perintahnya lagi. Dani memejamkan mata erat, berkonsentrasi sekuat dia bisa. Tumbuh.

Sebagian benaknya berbisik, Ini konyol. Tolol. Kuku enggak bakal tumbuh cuma karena kamu suruh tumbuh. Kamu harus mulai berhitung lagi, kalau enggak, kamu bakal lupa kamu sudah di sini berapa lama.

Kemudian, suara lainnya menjawab, Aku dipenjara seumur hidup. Sekadar kehilangan setengah hari juga enggak akan masalah.

Tumbuh.

Ini bukan filmnya Tarantino, Dani. Kukumu

Tumbuh.

Ujung-ujung kuku yang tajam hampir menembus telapak tangan Dani. Dia meregangkan jemarinya, merasakan, tanpa melihat, kuku-kukunya melancip dan memanjang. Suara klik-klik-klik kuku-kuku sekeras baja yang saling berbenturan menembus kesenyapan Tingkat Tiga yang melebihi pemakaman. Perasaan takjub, sekaligus ngeri, tumbuh dalam dada Dani.

Sebuah ide berkelebat dalam benaknya. Mungkin .... Untuk apa menggores tembok jika dia bisa bebas? Dani menggucang pergelangan tangan kirinya, menahan rasa sakit yang muncul karena besi yang mengiris kulit, menerka-nerka posisi kukunya dalam kegelapan. Perlahan Dani mengaitkan kukunya di celah sempit antara tangan dan borgol. Lalu, dia menyentaknya keras.

Hal berikutnya yang Dani tahu, tubuhnya tersengat dan terpelanting ke dinding. Dia merosot ke lantai, jatuh dengan wajah terlebih dulu. Tekanan besi di atas kulitnya terasa lebih tajam dibanding sebelumnya.

[ID] Dani Landon | Novel: HiatusWhere stories live. Discover now