Empat

151 30 11
                                    

Bab empat.

Tendangan telak Issai Aloi pada telinga dan tulang pipinya membanting Dani jatuh. Rumput yang tebal menyambut kejatuhannya, tetapi itu tidak membuat efek serangan Issai berkurang.

Vampir yang lebih tua itu berbalik, mengangkat kepalan tangannya tinggi pada kerumunan yang menonton. Teman-teman Issai dan vampir-vampir lain bertepuk tangan, berseru mendukung kemenangan vampir itu.

Di tengah taman, Dani berusaha mendorong dirinya bangkit. Telinganya berdenging. Dia berusaha mengeliminasi suara riuh para penonton dengan teknik dasar yang instrukturnya ajarkan pada bulan pertama, tetapi usahanya sia-sia.

"Masih mau lagi, Johan?" seru Issai. Suaranya luar biasa keras bagi telinga Dani yang sensitif. Dalam hati, dia berharap bajingan itu tidak bermulut terlalu besar.

Dani berdiri di atas kedua kakinya, masih berusaha menstabilkan diri ketika Issai berdecak. "Kau tidak tahu kapan harus mengaku kalah, ya?"

Lidah Dani menyusuri giginya, memastikan tidak ada yang goyang atau lepas. "Takut kalah, Loi?" ejek Dani. "Sudah jadi vampir berapa lama? Seabad? Dan kamu enggak bisa mengalahkan vampir kemarin sore yang cuma dikasih darah basi?"

Kerumunan yang mengelilingi mereka berseru dan melolong kencang. Di seberang Dani, Issai menggertakkan rahang. Pria itu memasang kuda-kuda, kakinya tertekuk 45 derajat. "Namaku Aloi!" Dia melejit maju, tinjunya terarah pada sisi kepala Dani yang baru ditendangnya.

Dani cepat menunduk. Matanya terarah pada torso Issai yang terbuka. Dia bersiap melancarkan serangan, tetapi Issai lebih cepat. Pria itu berputar di udara, menjatuhkan diri persis di atas Dani. Kali ini Dani tidak bereaksi cukup cepat. Siku Issai yang tajam menyerang telak bagian belakang tengkoraknya, persis di belakang telinga.

Wajah Dani terbenam dalam tanah. Dia muntah. Cairan dari mulutnya terjebak di antara wajahnya dan rumput yang melesak turun. Para penonton tertawa dan bertepuk tangan, salah satu di antara mereka berseru, "Smack down!"

"Mana arogansimu tadi?" bisik Issai di atas Dani. "Takut kalah padamu? Jangan mimpi."

Issai menjambak rambut Dani, menarik kepalanya naik, mengekspos muka Dani yang dikotori oleh tanah. "Lihatlah, Tuan-Tuan dan Nyonya-Nyonya sekalian!" seru Issai. "Wajah dari seorang pembunuh!"

Seruannya disambut persetujuan dan lebih banyak gemuruh sorak-sorai. Teman Issai menghampirinya, menawarkan tangan untuk membantu pria itu berdiri. Lalu tangan Issai yang digenggam olehnya diacungkan tinggi seolah mengumumkan pemenang pertandingan.

Dani dapat merasakan Issai yang berjalan pergi. Langkahnya penuh kebanggaan dan rasa percaya diri. Menggunakan sisa-sisa kekuatan yang ada, Dani memanjangkan kuku-kukunya. Jerit peringatan penonton datang terlambat. Kuku-kuku baja vampir itu telah menembus punggung Issai, mencuat keluar dari rusuknya.

Pandangan gelap Dani perlahan kembali normal ketika dia menarik kuku-kukunya lepas dari punggung Issai. Kuku-kuku tajam itu menyusut. Vampir yang mengelilingi mereka hening sepenuhnya.

Lalu, Issai berbalik. Ekspresinya murka.

"Bukan hanya pembunuh," geramnya sambil menghampiri Dani pincang, "'tapi juga seorang pengecut!"

Tinju Issai meretakkan tulang hidung Dani, membuat matanya berkunang-kunang. "Hajar dia, Aloi!" seru seseorang. Ya, pikir Dani. Hajar saja. Namun Issai hanya mengibaskan tinjunya, satu tangan meraba luka di dadanya yang mulai tertutup.

"Tidak perlu," jawab Issai jijik. "Meladeni makhluk ini lebih jauh cuma buang-buang waktu." Pria itu berbalik, melambaikan tangan mengusir kerumunan itu. "Ayo, bubar! Ainsley, temani aku ke klinik. Siapa yang tahu penyakit macam apa yang ada di kuku-kuku sampah itu."

[ID] Dani Landon | Novel: HiatusWhere stories live. Discover now