Sembilan

135 23 6
                                    

Bab sembilan.

Cluj-Napoca, Rumania.

06:40, 73:00:00 tersisa.

Dengan waktu satu jam tersisa sebelum matahari terbit, Erik memerintahkan agar para Penjejak yang dikerahkan untuk mencari Dani kembali ke Mansion. Mereka telah menyusuri setiap senti kota Cluj sebanyak empat kali. Bahkan lingkup pencarian sudah mereka perluas hingga ke kota sebelah.

Hasil yang muncul tetap nihil. Entah bagaimana, Dani Johan telah melarikan diri dari Cluj. Tanpa sumber daya, tanpa pengetahuan tentang kota tempatnya ditahan selama dua tahun belakangan, dia menghilang.

Satu per satu agen mengumumkan melalui komunikator bahwa mereka telah dalam perjalanan kembali ke Mansion. Erik berdiri di ambang kekalahan. Berbulan-bulan lalu dia membawa taruhan bernilai besar ke meja judi, dan setelah bulan-bulan tanpa progres ataupun regres berarti, dalam hitungan jam bandar nasib mengambil semua keping pertaruhan Erik sambil tertawa.

Penjejak itu mengundi untuk kali terakhir dan melempar dadu. Di pinggir jalan Cluj yang mulai diisi oleh orang-orang yang berlalu-lalang mengejar sif pagi di tempat kerja masing-masing, diiringi bus dan mobil kota yang mulai mengisi jalan raya, Erik menghubungi satu-satunya orang yang dia percayai dengan seluruh sisa hidup setelah matinya.

Bandung, Indonesia.

11:40, Unit ID-231.

Dari balik unit komputer tua yang tersedak-sedak menjalankan Windows 10, Agen Penjejak Kris menyipitkan mata ke arah pintu yang tertutup di samping tangga.

Kris capek. Sudah lima siang dia tidak beristirahat. Meja-meja di sekitarnya sudah ditinggal penghuni. Tinggal tumpukan kertas, dokumen, komputer, barang-barang personal, dan bungkus cokelat di salah satu meja—meja Eni—yang menemani Kris lembur.

Ini mungkin pertama kalinya Kris kembali mengurus laporan setelah bertahun-tahun. Dulu, dia melempar bagian membuat laporan setelah menyelesaikan penyidikan kasus pada Fauzan. Penjejak itu akan berkutat dengan mesin tik butut yang tintanya sering macet sementara Kris tidur cantik di rumah ibunya yang pikun. Kemudian Fauzan dipindahkan ke unit Bogor, ibu Kris masuk panti jompo, dan Erik datang.

Selama dua dekade Kris terbebas dari beban laporan yang membuat jemu. Kini tugas itu kembali, dan ia membawa teman untuk membalas dendam: Lembur, bekerja sendirian, dan godaan untuk loncat menerobos jendela. Apa pun lebih baik daripada laporan ini.

Perintah bos unit mereka, Sidharta, sudah jelas: Laporan itu sudah harus ada di mejanya pukul tiga sore. Tidak terlambat, boleh lebih cepat. Namun, bagaimana bisa Kris fokus mengerjakan laporan ketika yang dia inginkan hanya mengambil tatami yang Rizal tinggal di kolong mejanya, menggelarnya di ruang interogasi satu, dan bergelung lalu terlelap?

Ya, kasus kristalisasi darah yang dicampur heroin ulah vampir yang bekerja sebagai bandar narkoba semasa hidup dan melanjutkan bisnis setelah mati memang menarik. Lebih menarik mana dibanding menutup mata selama dua jam dan mimpi liburan ke Hawai?

Selagi Kris berkontemplasi apakah risiko ketahuan oleh Sidharta sebanding dengan istirahat yang dia idam-idamkan, ponselnya bergetar dalam laci. Lutut Kris menghantam meja saking kagetnya. Selama sesaat, Kris kira jantungnya kembali berdetak. Ponselnya terus bergetar dan bergetar. Baru Kris sadari ada panggilan masuk untuknya.

Buru-buru dia dia gali laci meja. Tangannya meraba permukaan dingin pistol khusus SCEU, mengepinggirkan kertas post-it bertuliskan PUNYA GINTING dari puding darah yang dia temukan di kulkas unit, sampai meraih benda pipih berbentuk persegi panjang di sudut laci.

Nomor yang tertera diawali kode +40. Tanpa perlu melihat nama pemanggil Kris tahu siapa itu. "Yo," sapa Kris. "Bantu aku bikin laporan, dong."

"Apa? Lupakan. Kris, aku butuh bantuan."

[ID] Dani Landon | Novel: HiatusDär berättelser lever. Upptäck nu