-siluet-

610 58 2
                                    

 Vino berdiri diam di tengah-tengah ruangan kerja Deva. Sudah lama dia tidak memasuki ruangan ini. tak banyak berubah. Mungkin beberapa barang yang diperbaharui.

  Sebuah meja besar dengan kursi kebesaran di sudut ruangan. Sebuah meja dengan sofa yang mengelilinginya, deretan rak-rak buku serta lemari kaca. Vas bunga yang dulu satu kini ada empat. Lampu hias yang tampak baru, serta pajangan foto keluarga besar Putra. Satu-satunya figura di ruangan ini.

  Dilihatnya sang kepala keluarga berjalan ke arah jendela besar di belakang kursi kebesaran. Menatap dalam diam ke arah luar, dimana terdapat halaman belakang yang luas dengan segala jenis tanaman, gazebo, ayunan, dan kolam kecil.

  Lamunan Vino terganggu dengan deheman dari Deva yang berbalik menatap padanya. Entah kenapa tatapan Deva berubah tajam dengan ekspresi datar padanya. Tak mengelak membuat jantungnya berdegub gugup.

  "Saya tahu kenapa kamu kabur dari rumah, apa yang kamu cari, dan hasil dari pencarianmu itu. Tapi, yang membuat saya penasaran, kenapa kamu tidak pernah bercerita pada saya maupun pada Ve, kalau kamu mencari keberadaan bahkan sudah bertemu dengannya?" ujar Deva memulai percakapan yang entah sudah berapa belas bulan lamanya untuk mereka tak saling bicara.

  "Papi tidak menanyakan kabarku? Bagaimana kabar Papi?" tanya Vino dengan sengaja mengabaikan perkataan panjang penuh intrograsi dari laki-laki yang lebih dewasa itu.

  "Raja Vino Putra, saya sedang tidak bercanda," Deva berkata dingin dan wajah serius.

 "Oh, Pi ayolah...apa Papi gak kangen aku? Putra Papi satu-satunya ini!" Vino kembali mengabaikan perkataan Deva. Entah apa maksudnya. Dia malah terlihat seperti seorang remaja labil yang ingin bermain-main dengan sanga ayah.

  "Vin," suara Deva semakin awas. Tapi tetap saja Vino mengabaikannya. Laki-laki itu dengan santainya malah berjalan mendekat, berusaha mengabaikan perasaan gugupnya dan dengan perlahan mengalungkan kedua lengannya pada tubuh kekar sang ayah. Memeluknya erat dengan kepala terbenam di ceruk leher sang ayah.

  Deva yang ingin meledak marah karena diabaikan, seketika terdiam ketika dirasakannya tubuh laki-laki yang tengah mendekapnya erat ini mulai bergetar.

  Dia mengerti. Sangat mengerti apa yang tengah dirasakan laki-laki yang sudah ia anggap sebagai anak kandungya sendiri ini. Dia balas mendekap tubuh Vino yang sudah terisak kecil. Meskipun laki-laki ini terlihat kuat, gagah, penuh senyum, dan agak jahil ini dan juga manja pada Veranda, hanya padanyalah Vino dapat melepaskan segala rasa sesak dan gundah yang dirasakannya.

  Deva Kinal Putra, sosok ayah yang meskipun bukan kandung, selalu ada setia untuknya. Mendidik, mengajari, mengasuh, serta membimbingnya hingga ia menjadi sekarang ini.

  Sekian menit melepas rasa yang menyesak di dada, akhirnya Vino melepas pelukan itu dan sedkit terhuyung jatuh terduduk di kursi kebesaran. Deva sempat menangkapnya, kemudian berdiri di samping sang anak sambil mengusap sisa air mata itu.

  Tak ada suara darinya, memperhatikan sosok tampan yang tampak lelah ini. Dia menduga pemuda ini tak sedikit pun mengisi perutnya sejak pertama kali menginjakkan kaki kembali ke tanah air. Atau bahkan mungkin sejak ia berangkat naik pesawat? Duh!

  Wajahnya tampak sangat lelah, layu dan kusut walau begitu tetap tidak memudarkan wajah tampannya. Memikirkan itu entah kenapa membuatnya tergelak sendiri. Mengira bahwa wajah tampan itu adalah warisan darinya. Tetap tampan dalam keadaan apa pun.

 Vino yang sudah kembali menguasai diri, menyadari tingkah aneh sang ayah.

  "Ihh, ngapain ketawa-ketiwi gak jelas gitu?" tanyanya dengan memukul pelan lengan Deva yang kini dengan sengaja mengacak tatanan rambutnya yang rapi. "Jangan di acak ah!"

It's your lightWhere stories live. Discover now