realize

493 56 8
                                    

 Boby masih belum percaya sepenuhnya jika ia akhirnya bisa berada di rumah ini. Rumah yang seharusnya tempat ia ikut dibesarkan juga. Tapi kenyataannya dia memang berada di sini. Bahkan saat ini ia sedang tiduran dengan nyamannya di atas tempat tidur milik 'dia'.

 Kesan pertama ketika ia memasuki ruangan ini, tak terlalu buruk. Setidaknya selera mereka hampir sama. Sama-sama menyukai hal-hal yang simple saja, tidak terlalu berlebihan. Seperti kamar ini. Satu tempat tidur king size, lemari pakaian, kamar mandi, televisi serta DVD playernya, meja belajar serta kursinya, dengan corak putih dan coklat mendominasi dinding kamar ini.

 Dia merasa nyaman di sini. Meskipun sang pemilik kamar asli sudah tak menempati kamar ini sekian bulan lamanya, dan mungkin seterusnya. Tapi ia masih saja dapat merasakan kehadiran 'orang itu'. Sama seperti yang selalu ia rasakan di setiap kehidupannya sebelum ini. Walau hanya sekali-dua kali bertemu. Ikatan diantara mereka merupakan sesuatu yang spesial dan ia tidak akan pernah mengingkarinya.

 Pertama kali menginjaki rumah besar dan mewah ini, tak ada satu anggota 'keluarga' pun yang ada untuk menyambutnya. Pemuda ini pun tidak mempermasalahkannya. Malah ia beruntung, tidak langsung harus bertemu dengan mereka. Setidaknya ia bisa menyusun beberapa skenario yang akan ia mainkan dalam perannya nanti.

 "Hh...gue musti main bersih, nih. Masih untung si Nabil gak terlalu curiga sama gue. Setidaknya gue udah bisa bersikap selayaknya elo bersikap di sini. Sama orang-orang yang kenal sama lo, By," monolog Boby sambil menatap langit-langit kamar yang di hiasi gambaran Milky Way. Baru ia sadari ternyata 'dia' menyukai hal-hal seperti ini juga.

 Yah, di kamar ini juga ada lemari dengan setumpukan buku-buku yang tersusun rapi. Kebanyakan novel, buku lagu, dan beberapa buku astronomi. Di sebelah lemari itu, Boby juga menemukan sebuah gitar akustik, bola basket, dan tongkat baseball.

 Tak banyak foto yang dipajang. Hanya beberapa foto sendiri, keluarga, dan teman-temannya. Meski begitu, Boby berpikir kalau 'dia' mungkin seorang yang aktif, mudah bergaul, banyak teman, dan juga seorang yang populer di masa remajanya.

 Saat sedang bermenung ria, pintu kamarnya diketuk tiba-tiba. Menyadarkannya lamunan dan segera bangkit dari baringannya.

 "Hn?"

 Boby mengangkat sebelah alisnya saat menemukan sesosok pria tampan, berbadan tegap yang sedikit lebih pendek darinya. Berkumis tipis dan menggunakan kacamata tengah menatap tajam padanya.

 "Apa kabar?" tanya pria itu dengan tenang.

 Boby yang sepertinya masih dalam mode kagetnya, hanya menelengkan kepala ke samping. Bingung dengan sosok di depannya. Memperhatikan dengan lekat sosok pria yang lebih tua darinya itu. Raut wajahnya terkesan cuek tapi Boby seperti bisa merasakan aura rindu dari pria ini.

 "Hhh...hampir sepuluh bulan menghilang, apa kamu sudah lupa aja sama Ayah? Dasar!" kesal pria yang memanggil dirinya ayah itu. Memukul pelan pundak pemuda di depannya.

 Seperti sambungan internet yang tersambung, wajah Boby menampilkan seraut 'OH', menyadari bahwa sosok ini adalah orang tua-'nya'.

 "Ah..ha haha.."

 Tawa canggung ia lepas kala tatapan tajam si ayah menatapnya bingung. "Maaf Yah, aku tadi lagi ngelamun, biasalah, jetlag. Makanya masih rada linglung gitu. Hmm...kabar baik aku, mah. Ayah gimana? Sehat juga?" tanya Boby dengan cengiran yang memperlihatkan kedua lesung pipit andalannya.

 Si ayah, Yono Aprilio hanya mendengus malas. Kembali diingatkan lagi pada sifat sang anak yang suka jahil. Bisa-bisanya anak ini membuat raut seolah tak mengenalinya, huh.

 Kerutan di kening sedikit terbentuk kala Yono memperhatikan kembali tampilan sang anak yang cukup lama tak dilihatnya ini.

 "Kamu kurusan? Kayak ada yang beda gitu," ujar Yono menyelidik, "Suara kamu juga rada aneh gitu dari pada di telepon."

It's your lightWhere stories live. Discover now