-understanding-

491 64 2
                                    

 Deva sebelumnya tidaklah terlalu menaruh perhatian lebih pada Shania yang semakin hari terlihat mulai 'terobsesi' pada sosok gadis yang hampir setiap hari dia lukis itu. Memang benar dia sudah menyuruh beberapa orang untuk mencari sosok si gadis. Namun karena gambaran yang tak selesai itu, tentu saja menjadi kesulitan terbesar untuk menemukannya.

 "Kinal...masih gak ada hasil?"

 Veranda masuk ke ruangan kerja Deva tanpa mengetuk pintu, mengagetkan sang suami yang termenung berdiri di depan jendela. Deva yang menyadari seseorang masuk, segera membalik badan dan melihat istrinya melangkah mendekat. Ekspresi wanita cantik itu menyiratkan kekhawatiran dan rasa penasaran.

 Menghela napas pelan, Deva kembali membalik badannya menghadap langit malam di yang sunyi di luar sana.

 "Belum, tapi aku masih terus berusaha...haah... entah kenapa, aku mulai berpikir kalau gadis yang dilukis Shania itu, mungkin tidak ada. Mungkin hanya khayalannya saja," ujar Deva.

 Veranda mengerutkan alis, merasa tidak sependapat dengan sang suami. "Aku percaya kalau gadis itu ada."

 Deva mengalihkan pandangannya pada Veranda yang juga ikut berdiri di sebelahnya. "Bagaimana kamu bisa seyakin itu?"

 "Aku...aku pernah beberapa kali mendengar monolog Shania di awal kehamilannya. Sambil membelai lembut perut ratanya, dia bercerita tentang seorang gadis yang telah menyelamatkannya. Seorang gadis asing, yang mengingatkannya kembali akan satu kehidupan dalam tubuhnya, dan memberinya suatu cahaya baru untuk melanjutkan hidup..." Veranda menghela napas pelan. Hatinya merasa sedih juga bahagia saat kembali mengenang masa kembalinya sang putri sulung setelah masa kelamnya dulu.

 Deva tentunya merasa kaget mendengar pengakuan sang istri. Kenapa dia tidak pernah memberitahunya?

 "Maaf kalau aku tidak menceritakannya padamu. Bukannya aku bermaksud untuk menyembunyikannya, bukan. Hanya saja..." ucapan Veranda terputus oleh selaan Deva.

 "Hanya saja apa?" Deva bertanya dengan nada datar. Mencoba mengendalikan emosi yang sudah cukup lama ditahannya agar tidak lepas. Padangannya menatap tajam sang istri yang tertunduk di hadapannya.

 "Ugh, aku hanya tak ingin Shania menjadi terbebani dengan kita terus memaksanya untuk menceritakan tentang gadis itu. A-aku, aku tahu ini pemikiran yang sangat bodoh, yang akhirnya sekarang malah membuatnya kesakitan akibat perasaan terpendamnya itu sendiri. Maaf, maafkan aku...aku gak sanggup kalau melihatnya merasakan sakit seperti beberapa hari lalu.." jelasnya tanpa berani menatap Deva. Sudah pasti laki-laki itu akan marah besar padanya.

 Memang dia ingin mendiskusikan hal ini pada Deva. Tapi melihat bagaimana Shania yang sangat tertutup soal gadis itu, dia juga tidak dapat memaksa.

 "Aku pikir kita akan saling terbuka."

 Veranda merasakan rasa bersalahnya menjadi besar setelah mendengar pernyataan pelan dari Deva.

 "Secara tidak langsung, kamu juga ikut membiarkan Shania memendam rasanya sendirian. Rasa rindu yang tak pernah sekalipun ia bagi dengan kita, anggota keluarganya, orang-orang yang terdekat baginya. Kenapa juga harus menyimpan rahasia jika ujungnya menimbulkan sakit pada diri sendiri? Apa aku lupa mengajarkan untuk saling berbagi?" Deva menghela napas kasar, tanpa bisa ditahan menaikkan nada suaranya.

 Dia berdecak kesal sambil mengusap kasar wajahnya. Menghela napas panjang, merasakan emosinya bercampur aduk selama setahun belakangan ini merembes keluar.

 "Pertama Vino yang pergi tanpa sepatah kata pun. Lalu Shania yang tiba-tiba saja sudah berbadan dua? Berniat untuk mati dan...dan kembali menyembunyikan 'sang penyelamat'-nya itu? Kemudian kamu juga ikut-ikutan main rahasia? Aku penasaran apa Gege kecilku juga punya rahasianya sendiri? Apa yang terjadi pada keluargaku? Apa aku tidak berhak untuk tahu dan tak dianggap di sini?!"

It's your lightOnde as histórias ganham vida. Descobre agora