show up

524 58 11
                                    

Sudah hampir dua jam berlalu sejak dokter dan suster masuk ke ruang rawat Shania. Entah apa yang mereka lakukan di dalam, membuat Vino dan Dyo terus saja merasakan kecemasan. Bukan hanya kondisi Shania saja, tapi kondisi sang mami, Veranda pun, yang kembali drop membuatnya terpaksa harus dirawat di ruangan lainnya.

Deva berjalan menghampiri Vino dan Dyo yang tampak merenung di tempat duduk mereka. Menghela napas panjang, pria itu pun mengambil tempat di sebelah putranya.

"Eh, Papi..." kaget Vino saat sebelah tangan Deva memegang pundaknya.

"Bagaimana?"

"Dokternya belum keluar. Mami gimana, Pi?"

"Mami baik-baik aja. Dia lagi tidur sama Gre, mungkin karena kecapekan juga dianya."

"Gracia...aku khawatir padanya Pi," Vino menoleh pada Deva dengan raut khawatirnya.

Tak dipungkiri, ia pun juga merasakan hal yang sama. Kejadian yang terjadi pada Shania saat ini, bisa saja berdampak pada psikis anak itu. Ketika masa kecil yang ia lalui berjalan normal-normal saja dan penuh kebahagiaan, tiba-tiba saja harus dihadirkan dengan kondisi yang seperti ini. Apalagi dengan kediaman bocah itu, membuat mereka tak menampik ketakutan akan apa yang tengah gadis kecil itu rasakan saat ini.

"Papi juga khawatir sama dia. Uh, semua ini salah Papi...seharusnya Papi bisa menjaga Shania, menjaga kalian agar semua ini tak terjadi..."

"Pi, Papi jangan ngomong kayak gitu. Ini semua bukan salah Papi, oke. Anggap aja ini tuh, kayak ujian bagi keluarga kita. Aku yakin, kalau kita bisa menghadapi ini sama-sama dan semuanya juga, pasti akan baik-baik aja. Papi harus tetep kuat!"

Vino merangkul tubuh Deva, berusaha sedikitnya memberikan kekuatan untuk pria yang ia sayangi ini. Sementara Dyo yang melihat interaksi ayah-anak itu, hanya bisa tersenyum tipis. Selama menjadi sahabat Vino, Dyo mengenal Deva sebagai sosok yang kuat, tegas, namun penyayang, humoris, dan juga ramah. Baru kali ini ia melihat pria itu terlihat serapuh ini.

"Om, percayalah, semuanya akan bak-baik aja. Kalian gak sendiri, aku di sini bakal bantu kalian sebisaku."

Deva menoleh pada Dyo, senyuman pun mulai merekah di wajahnya. "Makasih Dyo. Om udah anggap kamu kayak anak Om sendiri. Makasih untuk semua yang udah kamu lakuin buat keluarga ini."

"Iya, Om Deva. Ah, Om gak perlu ngucap terima kasih segala. Aku malah seneng bisa bantu keluarga ini. Aku-"

Perkataan Dyo terputus, saat pintu kamar rawat Shania terbuka. Beberapa orang suster segera mendorong keluar tempat tidur Shania, dengan kondisi perempuan itu tampak tengah menahan sakit.

"Sendy!"

Sendy yang ingin menyusul suster-suster itu, ditahan oleh Deva. "Anak gue mau dibawa kemana?"

"Uh, Dev...kayaknya, lo bakal lebih cepet nimang cucu lo deh," ujar Sendy dengan ragu.

"Ha? Maksud lo?"

"Shania harus melakukan proses persalinan sekarang."

"Tapi, bukannya itu masih sekitar dua minggu lagi?" sela Vino bingung.

"Eh, harusnya sih, gitu. Tapi, kondisi stres dan beban pikiran yang ditanggung Shania, menyebabkan kontraksi lebih cepat. Jika dia tidak melakukan proses ini sekarang, hal yang lebih gawat akan terjadi," jelas Sendy.

Deva, Vino, dan Dyo tidak tahu harus merasa apa. Kaget? Pastinya, tapi sedikit rasa senang, deg-degan, cemas, khawatir, hingga rasa takut pun mengaduk perasaan ketiga pria itu.

"Kalau memang harus sekarang. Gue mohon, lo selamatin anak dan cucu gue..."

"Lo tenang aja. Gue bakal berusaha buat ngelakuin yang terbaik buat mereka, tapi Dev," Sendy sengaja memotong ucapannya.

It's your lightWhere stories live. Discover now