Chapter 1

92.5K 7.8K 314
                                    

Hai. Si jomblo satu-satunya di Pandawa 5 meluncur di dunia oren. Are you guys excited or not?
Entah kenapa, aku semangat 45 banget nih nulis ceritanya Ajeng. Mungkin karena Ajeng nih tipe cewek yang aku favoritin banget ya. Hahaha.

Enjoy.
*
*
*

From : Ibu Negara
Kamu harus pulang malam ini ke rumah dan menginap. Tidak menerima penolakan. Terima kasih.

Rasanya, gue pengen ngakak begitu Iphone gue bunyi dan muncul notification dari Whatsapp. Mama pula pengirimnya. Ngancem anak tunggalnya ini emang hobi si ibu pejabat itu. Tapi tentu aja ancamannya nggak berlaku buat gue.

Begitu bekerja di media, gue emang memutuskan untuk tinggal di apartemen yang nggak jauh dari kantor demi efisiensi waktu dan melatih kemandirian. Mama protes plus ngambek nggak mau makan dan nggak mau ngomong sama gue. Bokap mendukung-mendukung aja. Karena toh masih tinggal di provinsi yang sama, kok. Beda daerah aja.

Walaupun gue anak tunggal, sebisa mungkin gue nggak mau bersikap manja dan dilayani seratus persen oleh kedua orang tua gue. Gue jarang minta yang aneh-aneh ke mereka. Ngambek-ngambek nggak jelas juga gue hampir tidak pernah. Manjaan juga si Renata sama si Iin daripada gue.

Papa tuh bener-bener support system gue. Apapun keputusan gue asal tidak melanggar Pancasila dan UUD 1945, dia pasti mendukung. Mulai dari gue yang minta tinggal di apartemen, sempat berubah haluan jadi editor novel terus balik lagi ke media, keputusan mendadak gue untuk S2 ke Loughborough University karena ada tawaran beasiswa dari kantor, dan juga keputusan gue untuk tetap sendiri di usia yang sudah ke 29 tahun.

Papa nggak pernah maksa gue untuk buru-buru cari tulang rusuk. Katanya kalau emang jodoh pasti akan datang. Jauh beda sama nyokap yang sibuk melelangkan gue pada anak-anak kolega Papa. Yang bankir terkenal lah, yang dokter spesialis lah, yang eksekutif muda lah, sampai anggota dewan temannya Papa. Sefrustrasi itu kah Mama kalau gue bakal terus sendiri tanpa ada pendamping hidup?

Mama sering set blind date buat gue. Gue turutin. Berkali-kali gue kenalan sama orang-orang rekomendasi Mama, nggak ada satu pun yang menimbulkan spark di hati gue. Tertarik untuk ngobrol lebih lanjut pun nggak. Gimana ya, yang Mama kenalin sih kebanyakan cowok yang sukses karena bantuan orang tua nya. Jadi kesannya sombong. Gue paling benci sama cowok sombong padahal akan 'paralyzed' kalau orang tuanya kolaps.

Gue bisa jamin, perintah Mama yang nyuruh gue pulang ini pasti karena beliau mau ngenalin gue ke salah satu anak temannya lagi. Semenjak perjodohan Iin dan suaminya yang super duper kalem itu berhasil hingga ke jenjang pernikahan dan sudah punya tiga buntut (tambah satu lagi karena si Iin lagi hamil), Mama makin merasa ide perjodohan itu make sense banget.

Padahal ya beda case. Buktinya si Oliv. Dia juga sering dijodohin sama mamanya, tapi nggak berhasil. Dia malah menikah sama orang yang ternyata cinta mati sama dia sejak SMA.

Gue beres-beresin meja kantor. Baiklah. Gue turutin aja perintah ibunda. Surga kan di telapak kaki ibu. Gue males jadi anak durhaka. Entar hidupnya nggak berkah. Lagian kata Kadek-dia tuh cewek paling realistis di gank kami-toh keputusan tetap ada di tangan gue. Mama nggak akan maksa gue untuk menikah dengan laki-laki yang gue nggak suka.

"Balik, Jeng? Buru-buru amat. Masih macet banget tuh di luar," ujar Pak Vino-atasan gue langsung di kantor-begitu melihat gue menenteng ransel keluar dari ruangan.

Pak Vino ini kepala produksi di kantor gue. Dia pinter dengan sejuta ide brilian, bisa mengatur jalannya program acara dengan baik, dan satu lagi, dia cakep. Keturunan Arab gitu sih keliatannya. Single pula. Gimana teman-teman gue yang lain nggak belingsatan setiap Pak Vino berkeliling di kantor.

Over The Moon (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang