Chapter 4

56.5K 7K 361
                                    

Belum terlalu malam untuk update. So yeah, semoga kalian suka. Again and again, vommentsnya ditunggu.
Enjoy
*
*
*

Hari ini, gue memutuskan untuk ke kantor dengan taksi online. Gimana mau nyetir kalau kaki gue pegal-pegal begini. Nggak sanggup gue beneran pake sepatu penyiksaan seperti yang kemaren gue pake.

Gue nggak akan pernah mau pake itu heels lagi. Terkutuk. Terlalu banyak hal-hal buruk yang menimpa gue ketika mengenakan heels itu.
Asal lo semua tau aja, begitu sampai di rumah, gue cuci mulut gue bolak-balik. Awalnya sikat gigi, lalu pakai mouthwash, lalu sikat gigi lagi. Pokoknya sebisa mungkin jejak bibir si casanova sialan itu hilang dari bibir gue.

Dasar cowok brengsek. Berani-beraninya dia main nyosor aja ke gue. Dia mau nyamain gue sama cewek-cewek yang memuja dia? Tentu aja nggak bisa. Gue punya harga diri. Dan, kecolongan dua kali sudah menggilas habis harga diri gue sampai ke dasar jurang.

Kalau aja gue dikasih izin untuk tembak mati satu orang di dunia ini, kayaknya si Gandi masuk di number one list gue deh. Orang-orang yang suka bertindak semena-mena kayak dia tuh harus dimusnahkan dari muka bumi ini. Gue yakin, pasti lebih banyak yang senang daripada sedih jika gue berhasil menembak mati dia.

"Morning, Ajeng. Eh, kaki kamu kenapa?" Gue berpapasan dengan Pak Vino saat akan masuk lift. Pak Vino menyadari cara berjalan gue yang tidak seperti biasanya.

"Pegal-pegal, Pak. Biasa deh, heels yang saya pake kemaren nyiksa banget," jawab gue sambil berjalan tertatih masuk ke dalam kotak besi tersebut.

Kami berdiri bersisian di dalam lift, ditemani oleh tiga orang dari bagian program infotainment. Satu host, duanya lagi tim kreatif. Ketiganya cewek. Mereka senyum-senyum nggak jelas ke Pak Vino. Fans Pak Vino makin banyak aja. Makin berat nih Evelyn dapetin hati Pak Vino. Poor Evelyn.

"Deni nggak tahu kamu nggak nyaman dengan sepatu tinggi? Perasaan saya sudah ingatkan dia agar lebih aware soal kenyamanan dalam memilih wardrobe," sambung Pak Vino lagi. 

"Bukan salah Deni, Pak. Kemarin kan buru-buru banget," gue nggak mau karena kaki gue yang kampungan ini, Deni jadi kena tegur.

Begitu lift berhenti di lantai 4, tiga orang wanita yang sejak tadi senyum-senyum itu pamit pada Pak Vino.

Garis bawahi. Hanya pada Pak Vino.

Women.

Berdasarkan pengalaman anggota Pandawa 5 yang lain soal mencuri hati laki-laki, mereka bilang physical appearance itu tidak menentukan apakah cowok tersebut akan jatuh hati pada kita atau tidak. Itu cuma bonus. Karena yang paling menentukan adalah 3A. Attraction, Affection dan Attitude.

Pandawa 5 yang lain memang cantik-cantik, tapi bukan itu yang membuat Kahfi, Fachri, Bara dan Bang Ben menjadikan sahabat-sahabat gue sebagai istri mereka.

Contohnya aja Bang Ben. Dulu Iin sempat naksir dia. Dari segi look, Iin dan Oliv sama-sama cantik. Tapi, karena memang Bang Ben sudah tertarik sama Oliv dari awal dan ditambah dengan sikap santun Oliv, maka Bang Ben memilih Oliv sebagai ibu dari anak-anaknya.

Begitu juga dengan Fachri. Suami si Iin itu punya mantan yang cantiknya kebangetan lho. I hate to say this, tapi aura wanita anggun plus cantiknya keliatan banget sih. Hijaban pula. Duh, kalau dilihat sekilas, itu cewek cocok banget sama si kaku. Tapi pesona temen gue itu udah meresap sampe ke akar-akar rambut si Fachri. Mau ada 1000 Malika yang datang pun, cinta dia cuma buat si gesrek Iin seorang.

Harusnya tiga cewek Infotainment tadi lebih ramah pada orang yang dia memang kenal. Toh, gue bukan orang asing. Lagian, who knows ternyata selera Pak Vino adalah cewek yang ramah. Gue yakin laki-laki sejenis Pak Vino ini nggak akan superficial karena kalau cuma mau cewek cantik, dia akan dengan mudah dapetin mereka di kelab-kelab elit Jakarta.

Over The Moon (SUDAH TERBIT)Where stories live. Discover now