Chapter 8

48.1K 7.2K 429
                                    

Balik ke kebiasaan selama weekdays, update tengah malam.
Semoga kalian suka. Vomments ya ditunggu.

Enjoy
*
*
*

Mama ngamuk saat gue katakan Gandi tidak bisa datang ke rumah karena gue nggak mau kasih alamat kami ke dia. Gue  nggak suka bohongin orang tua. Daripada Mama berharap lebih-udah kejadian sih sebenarnya-mendingan gue berterus terang.

Kata Mama, pamali menutup kesempatan laki-laki mendekati kita, karena urusan jodoh nggak ada satu manusia pun di dunia ini yang bisa memperkirakannya.

Yang lebih absurdnya lagi, Mama masih nggak percaya Gandi bukan cowok gue. I mean, dia yakin dua ribu persen-ini gue nggak melebih-lebihkan-si Gandi kutu kupret itu menaruh hati pada gue.

Ck. Mama mungkin nggak paham bedanya lust dan love. Males juga ngejelasinnya ke beliau. Yang ada gue kena ceramah yang isinya kira-kira, "tahu apa kamu soal cinta. Mama sudah berpengalaman, ya. Sudah hidup lima puluh dua tahun."

Again, age is not just a number for some people. Dan itu berlaku buat Nyokap. Baginya, yang muda nggak berhak kasih nasehat.

Syukurnya gue punya seorang ayah yang sangat pengertian. Papa membela gue dengan mengatakan kalau gue berhak menentukan laki-laki mana yang gue biarkan masuk ke dalam hidup. Papa juga meminta agar Mama tidak usah terlalu sibuk memikirkan jodoh gue.

"Kalian berdua emang kembar. Aku seperti orang asing di rumah ini."

Mama dan dramanya. Gue dan Papa tergelak bersamaan begitu Mama ngambek dan langsung masuk ke dalam kamar tidurnya dengan membanting pintu.

"Untung Papa sayang sama mama kamu, Jeng. Kalau nggak, Papa udah minta ganti rugi tuh karena keseringan ngebanting pintu rumah kita," kelakar Papa sembari menatap pintu kamarnya. Di dalam sana, wanita yang dicintai Papa pasti tengah telfonan dengan sahabatnya untuk merencanakan kencan buta untuk gue dan anak temannya.

Papa mengajak gue duduk di ruang keluarga. Kami duduk bersisian. Papa mengupas jeruk sementara gue memasukkan sebutir demi sebutir anggur ke dalam mulut.

"Mama sudah tua, tuh. Jangan sering-sering bikin dia ngamuk ya, Sayang," Papa mengusap rambut gue.

Gue memanyunkan bibir. "Abis Mama rese. Aku kan udah bilang berkali-kali, aku nggak suka dan nggak mau dijodohin. Aku juga nggak akan sembarangan menerima perhatian laki-laki. Papa ngerti, kan?"

Papa mengangguk. Dia menyodorkan jeruk ke mulut gue. Gue terima.

"Itu bentuk sayang dia ke kamu. Dia khawatir kamu nggak kawin-kawin. Padahal mah anak Papa yang cantiknya ngalahin Iis Sugianto ini pasti akan menikah dengan pria yang dia cintai dan mencintai dia."

Lo semua tahu Iis Sugianto? Dia penyanyi yang sangat populer saat Mama Papa masih muda. Albumnya laris manis di pasaran. Sampai sekarang, Papa masih suka dengarin lagu-lagunya Bu Iis Sugianto ini.

"Nah, itu dia. Aku nyantai. Papa nyantai. Mama aja yang kayak dikejar setan. Takut banget anaknya nggak laku-laku," sahut gue lagi.

"Emang si Gandi-Gandi ini anaknya gimana, sih? Sampai kamu setega itu nggak ngasih alamat rumah kita?"

Nggak mungkin dong gue jujur ke Papa soal si casanova kampret itu yang sudah mencium bibir gue dua kali tanpa permisi. Yang ada besoknya orang suruhan Papa sudah menangkap Gandi di kediamannya yang entah dimana itu.

"Ya karena kami nggak punya hubungan apa-apa, Pa. Dia emang iseng banget. Makanya kemarin pake acara boongin Mama segala dengan bilang kalau dia pacar aku."

Over The Moon (SUDAH TERBIT)Where stories live. Discover now